Hari ini, 10 April 2018. Bagi pecinta wayang kulit Jawi, 10 April adalah hari paling penting. Sebab, andai masih sugeng, dalang kesayangan orang Jawa, Ki Hadi Sugito, genap berusia 76 tahun.
Banyak yang menulis dalang kelahiran Dusun Ngulakan, Seworan, Wates Kulon Progo ini lahir pada tanggal 10 April 1942. Juga di sebuah plang petunjuk lokasi makamnya di Sasanalaya Genthan, Tayuban, Panjatan. Di sana tertulis, Makam Ki Hadi Sugito, di bawah tulisan nama itu, ada nama dengan huruf Jawa. Lalu di bawahnya lagi, ada tulisan: Lahir 10 April 1942.
Tapi begitu masuk pajimatan Genthan, di batu nisannya, putra pasangan Ki Widi Tupar dan Nyi Tini ini, ditulis lahir pada 31 Desember 1942. Meninggal pada 9 Januari 2008, Pak Gito dipusarakan di dekat sang ayah, dalang kondang di masa lampau.
Jika dilihat dari trah, Pak Gito merupakan dalang sejati. Artinya, leluhurnya (terutama) dari pihak bapak, adalah dalang. Bapaknya, Ki Widi Tupar, ada pula yang menyebut Widi Prayitno, merupakan putra Ki Bagus, yang juga dalang kondang.
Trah Ki Bagus yang juga mempunyai sebutan Mbah Bagus, hingga ke leluhurnya adalah dalang ternama di masanya. Silsilah itu, semakin ke atas akan bertemu dengan nama Ki Kriyo Dahono, seorang dalang ternama pada Perang Jawa. Ia adalah bagian dari Laskar Pangeran Diponegoro yang kemudian memutuskan menetap di tlatah Kulon Progo.
Dari garis ibu, darah dalang juga mengalir pada Ki Hadi Sugito. Ibundanya, Nyi Tini merupakan putri kedua Mbah Dalang Jenar dan Mbah Sinem. Dalang yang juga Carik di Jenar ini, dikenal menurunkan dalang-dalang populer.
Selain Nyi Tini yang melahirkan Ki Hadi Sugito, ada Nyi Srenthel yang tak lain adalah ibunda Ki Ngadi Bagong. Dua wanita penurun dalang kodang itu adalah mbakyu kandung dalang Kraton Jogjakarta, Ki Timbul Hadi Prayitno.
Sebagai dalang sejati, pantaslah jika Ki Hadi Sugito tampil sebagai dalang dengan kepopuleran tak terdandingi. Ia bahkan dinobatkan sebagai dalang kesayangan orang Jogja. Sebab, gaya pedalangannya yang sangat ngopop, lincah, dan gapyak pada penontonnya.
Memiliki masa kejayaan yang panjang, posisi Pak Gito seolah tak tergeser oleh dalang-dalang muda. Dalam pergaulan di lingkungan para dalang, namanya juga disegani. Hanya saja, Maestro ringgit purwo yang menetap di Toyan ini, agak jarang muncul di media. Jadilah, jika mencari foto Pak Gito di mesin pencari misalnya, akan sangat sedikit yang bisa ditemukan.
“Bapak memang susah kalau urusan-urusan seperti itu,” kata almarhum Ki Tono Hadisugito. Saat itu, saya bertemu salah seorang putra Pak Gito itu, dalam sebuah pertemuan dalang-dalang muda yang digagas Pepadi Pusat di Taman Mini tahun 2000an. (kib)
Sebagai orang asli Kulon Progo, saya ikut bangga karena sejak kecil sering nonton pentas beliau. Memukau dan gak ngantu sampai pagi. Dimanapun berusaha nonton. Banyak nilai nilai luhur yang beliau sampaikan disamping guyonan atau sindiran yang seolah olah ditujukan pada wiyogonya, segar mengena situasinya. Semoga muncul dalang generasi berikutnya dari trah beliau maupun lainnya agar budaya wayang tetap melekat dan lestari selamanya.
kasinggihan
begitulah kita semua…
Ketika saya sowan ke rumah beliau, diruangan bagian dalam, di dekat taman sisi kanan kalau dari arah luar, ada foto belia dengan Pak Amin Rais. Mungkin masih ada koleksi foto2 yang lainnya. Dari sana pihak redaksi bisa menyebarkan ke kabarno ini supaya anak cucu kita bisa mengenal sang Maestro.
Al Fatihah untuk Pak Gito.