Pagi-pagi sekali, pesan menyentak datang. Pesan yang melempar ingatan pada saat-saat duka, sembilan tahun lalu.
“Hari ini sembilan tahun Eyang Renda dimakamkan kan ya. Kita Ziarah ke Cipayung ayo,” tulis pesan itu. Pesan dari Sekar Mayang yang tentulah terkenang suasana pemakaman WS Rendra di komplek Bengkel Teater di Cipayung, Depok.
Benar. Hari itu, 7 Agustus 2009. Bengkel Teater Rendra di Jl Raya Cipayung, Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Cipayung, Kota Depok, dibalut sendu mendalam. Rendra, tokoh teater, penyair, aktivis, dan seniman besar Indonesia, dimakamkan. Ribuan orang memadati Bengkel Teater. Mula dari tokoh-tokoh nasional, budayawan, pejabat, anak teater hingga masyarakat luas, mengantar Mas Willy ke tempat peristirahatan terakhir.
Dan, di antara lautan manusia itulah, Sekar Mayang ikut menangis. Ia memang memiliki hubungan emosional dengan WS Rendra. Kekagumannya dibangun sejak ia masih kanak-kanak, ketika sering saya ajak sowan ke Bengkel Teater.
Hari ini, saya ingin mengenang almarhum WS Rendra dengan menyajikan tulisan lama. Tulisan yang saya buat 7 Agustus 2009, saat Si Burung Merak, itu dimakamkan, setelah meninggal dunia sehari sebelumnya. Tulisan ini pernah dimuat di halaman pertama sebuah koran ibukota, tanggal dikebumikannya Mas Willy, 7 Agustus sembilan tahun silam.
***
Hari itu, siang sudah agak redup, menjelang 1995. Jam dua, di Bandara Sukarno Hatta Cengkareng, saya melihat sosoknya yang legendaris. Tubuh jangkung, mengenakan kemeja jeans, yang berwarna serupa dengan celananya. Satu kancing baju paling atas dibiarkan terbuka. Saya mendekat. Terlihat, pipinya agak tembem (terakhir baru saya tahu, dia makan obat gemuk).
Saya memang ingin menemuinya. Bukan saja harus membuat wawancara khusus, tapi oleh dorongan kekaguman. Rendra. Siapa yang tidak menyelipkan kagum di hatinya? Dialah penyair paling megah, yang tempatnya berdiri, menjadi muara cita-cita semua calon seniman.
Tahun itu, baru satu tahun saya jadi wartawan. Masih serba gagu. Apalagi harus bertemu dengan nama yang sangat ditakuti. Sebagai cah ndeso yang sok nyeniman, saya mengenal Rendra lewat Blues untuk Bonnie, yang saya beli di loakan dekat Pasar Mbringharjo Jogja. Blues untuk Bonnie, akhirnya menjadi bekal saya untuk, bergaya sebagai penyair kampungan.
Dan, pertemuan di Bandara itu, adalah pertemuan pertama secara personal. Maka begitulah. Segala kekikukan, grogi yang gila, serta gemetar karena bertemu wajah masyur, membuat saya berantakan. Wawancara kacau, oleh gemetar. Mas Willy senyum-senyum, lalu menjauh. Saya lemas. Rasanya sangat tidak bakat jadi wartawan. Sial. Saya menyesali pertemuan penting itu, yang sepertinya hanya memberi Mas Willy bekal suasana hati yang tidak nyaman, untuk lawatannya yang panjang ke Eropa.
***
Hari itu, siang mulai garang, tiga bulan lepas dari 1995. Jam 11 siang, di Rawabokor dekat Bandara Sukarno Hatta Cengkareng, saya melihat tanda tangan yang legendaris di sebuah kerta yang dikirim lewata faximile. Dari goresannya, saya mengenal betul, itulah tanda tangan khas Rendra. Hati berdebaran. Sebuah surat undangan yang khusus untuk saya; makan siang bersama Rendra.
Benar. Hari berikutnya, saya sudah duduk di meja makan. Ada sayur asam, sambal lombok merah, serta lalapan yang segar. Mas Willy mengenakan kaos oblong. Tangannya ramah mengajak menambah satu sendokan nasi. Agak jauh dari meja, Mbak Ida, nyonya Rendra yang cantik itu, memperhatikan kami dengan senyum-senyum.
“Mas Willy mengundan khusus, karena ingin minta maaf, waktu di Bandara dulu itu, buru-buru. Nggak sampai tuntas wawancaranya. Memang, Mas Willy juga sedang tidak enak badan saat itu. “ Mbak Ida mengawali perbincangan, usai makan siang, dengan kalimat maaf, yang membuat saya bingung. Benarkah, karena berhasil membuat saya gemetaran, di Bandara tiga bulan sebelumnya, Rendra minta maaf? Edan. Sepenting itukah saya buat dimintai maaf seperti itu?
Tapi itulah sejarah paling penting dalam hidup saya. Sejak faks yang istimewa itu, keberuntungan menjadi milik saya. Pergaulan saya dengan Mas Willy, menjadi semakin pribadi. Bertahun-tuhun, saya terlibat dan menjadi bagian dari hari-harinya, di luar hari-hari formalnya bersama para penyair, anak-anak Bengkel Teater, seniman, budayawan, atau tokoh-tokoh bangsa lain.
Ruang yang kemudian menjadi favorit saya adalah meja makan, di dekat dapur, yang jendelanya terbuka lebar, mengambar kebun kacang panjang. Dalam pergaulan yang rapat, saya merasa semakin dekat, setelah Mas Willy memberi kenang-kenangan dua kata yang indah, pertengahan Juli 1997; Sekar Mayang.
Di tahun-tahun berikutnya, Sekar juga menjadi bagian dari hari-hari Mas Willy yang lain. Ialah makhluk yang bisa sangat bebas, menyuruh-nyuruh Mas Willy bergaya, untuk difoto-foto, saat ia belajar menggunakan poket, di usia kanak-kanak. Dan dalam perkembangannya, kenangan kanak-kanak Sekar tentang sosok yang kemudian dipanggil Eyang Rendra itu, menjadi kebangaan yang melekat di hatinya.
Semua memang tiba-tiba berubah, sejak faks istimewa itu datang. Selanjutnya, saya justru menjadi ‘orang dalam’ buat keluarga Mas Willy. Kadang-kadang, di hari Minggu, Mbak Ida menelepon, selesai memasak sayur kacang panjang yang baru dipetik di kebun, mengundang datang, karena Mas Willy minta ditemani makan siang.
Atau, kalau lagi malas kerja, begitu saja saya ngeloyor ke Cipayung, membawa Sekar bertemu Eyangnya. Tapi kini, orang yang saya cintai, satu-satunya tokoh yang saya idolakan, serta Eyang buat Sekar, sedang mengepakan sayapnya. Maka, sayap merak yang indah itu, mengembang lalu hilang, menghadap Tuhan. Hari ini, saya ingin mengajak Sekar menangis.(*)