Gencatan Senjata Gaza–Israel: Janji Damai di Tengah Bayang Tawanan

oleh -49 Dilihat
Oplus_131072

Oleh : Sudadi

Gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang mulai berlaku Jumat dini hari, 10 Oktober 2025, menjadi titik paling menentukan sejak dua tahun konflik berkecamuk di Jalur Gaza. Perjanjian itu, sebagaimana dilaporkan kantor berita Xinhua, disetujui oleh kabinet Israel untuk menghentikan seluruh operasi militer di Gaza dan menjamin pembebasan semua sandera yang tersisa.

Dalam pernyataannya, kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut: “Pemerintah saat ini telah menyetujui kerangka kerja untuk pembebasan semua sandera, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.”

Namun di balik kalimat diplomatik tersebut, persoalan kemanusiaan masih menganga lebar.

Menurut laporan Associated Press (AP), sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, terdapat sekitar 251 orang Israel yang ditawan—terdiri atas warga sipil, militer, dan sejumlah warga negara asing. Dari jumlah itu, 148 orang telah dibebaskan, sebagian melalui pertukaran, sebagian ditemukan tewas. AP juga mencatat bahwa hingga awal Oktober 2025, sekitar 48 sandera masih berada di tangan Hamas, dengan perkiraan hanya separuh yang masih hidup.

Sementara di pihak lain, kelompok pemantau tahanan Commission of Detainees Affairs (CDA) di Ramallah melaporkan bahwa Israel menahan lebih dari 11.000 warga Palestina di berbagai penjara. Dari angka tersebut, sekitar 3.500 orang berstatus tahanan administratif, yakni ditahan tanpa dakwaan atau pengadilan. CDA juga menyebut di antara para tahanan terdapat puluhan perempuan dan ratusan anak-anak, sebagian besar ditangkap dalam operasi militer di Gaza dan Tepi Barat sepanjang dua tahun terakhir.

Pertukaran tahanan menjadi inti dari kesepakatan gencatan senjata ini. Hamas menuntut pembebasan sebanyak mungkin tahanan politik Palestina sebagai imbalan atas pelepasan sandera Israel. Bagi Israel, desakan publik sangat kuat agar pemerintah memastikan seluruh warganya dapat dipulangkan, baik hidup maupun gugur.

Memilih antara Tekanan Politik dan Panggilan Kemanusiaan 

Situasi ini menempatkan kedua pihak dalam posisi moral yang sulit: mereka harus memilih antara tekanan politik dan panggilan kemanusiaan.

Di dalam negeri Israel, keputusan Netanyahu memunculkan perpecahan. Menteri-menteri garis keras seperti Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich menolak kesepakatan tersebut karena dianggap sebagai bentuk kelemahan di hadapan Hamas. Namun, jajak pendapat Channel 12 Israel menunjukkan sebagian besar masyarakat justru mendukungnya, karena percaya gencatan ini bisa membuka peluang bagi kembalinya para sandera dan mengakhiri penderitaan warga sipil.

Di kubu Hamas, dinamika internal tak kalah rumit. Faksi politik yang terlibat dalam perundingan ingin menampilkan diri sebagai aktor yang rasional dan mampu menundukkan Israel ke meja perundingan. Tetapi sayap militer, seperti Brigade Izzuddin al-Qassam, tetap curiga dan menyebut gencatan ini sebagai “jeda taktis” sebelum perang babak baru dimulai.

Dalam situasi genting seperti ini, peran mediator—Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat—menjadi penentu. Ketiganya memastikan kesepakatan tidak berhenti pada kertas perjanjian, tetapi benar-benar diterjemahkan dalam tindakan nyata: pembebasan tahanan, pemulihan kemanusiaan, dan rekonstruksi Gaza.

Dunia kini menunggu apakah gencatan senjata ini akan menjadi jembatan menuju perdamaian permanen, atau sekadar napas sementara di tengah badai panjang. Karena bagi rakyat di kedua sisi, yang mereka dambakan bukan kemenangan, melainkan kehidupan yang layak setelah sekian lama hidup di bawah bayang senjata.(**)

Sudadi : Pemerhati isu perdamaian dan Pernah Bergabung dalam Pasukan Perdamaian PBB (UNEF) Mesir–Timur Tengah 1978–1979