Perjalanan ini, perjalanan menuju naluri Kiai Sayek, adalah sebuah langkah panjang. Tidak mudah, terutama secara batin. Sementara bagi fisik, bergerak menuju pedusunan Mendak, membutuhkan kekuatan fisik yang berlebih.
Maka dengan niat engsun, saya bergerak menyisir jalan-jalan terjal. Menjelang tengah hari, saya bersama tiga sahabat meninggalkan Wates. Rute yang kami pilih, adalah yang terpendek. Lewat jalur selatan, menyisir pesisir kidul.
Titik-titik penting yang saya lewati adalah, Parangtritis dan Pajimatan Imogiri. Dengan beberapa kali nyasar dan bolak-balik bertanya pada para sedulur di pinggir jalan, serta dijeda istirahat dan mengudap masakan warung mbokde yang khas pedesaan, pertigaan Imogiri sudah di depan mata. Arah yang harus diambil ialah belok kanan, menuju Panggang (kalau belok kiri akan sampai di pusara Kanjeng Sultan Agung dan raja-raja Mataram sesudahnya).
Dan, dimulailah perjalanan yang sesungguhnya. Memasuki Kabupaten Gunung Kidul, trek yang harus ditempuh, melulu tanjakan. Beruntung, jalan-jalan yang penuh jebakan tikungan dan tajakan tajam itu, mulus. Juga, sepi.
Segeralah saya sadar. Perjalanan ini sungguh sangat wingit. Sebab, memasuki Gunung Kidul dari sisi barat adalah melewati punggung pegunungan Seribu yang purba. Batu-batu hitam yang terukir oleh alam jutaan tahun, menyembul dari tanah, tak ubahnya seni instalasi seniman-seniman kontemporer
Rute barat, memang menakjubkan secara spiritual. Inilah gerbang Pegunungan Seribu yang bukan saja berusia jutaan tahun, tapi juga harus melewati tempat-tempat keramat. Ada memang, jalur yang lebih terkesan wisata yakni melewati kota Wonosari yang sudah ramai, tapi tentu saja perjalanan menjadi lebih jauh. Beberapa kali, saya lewat jalur itu, sungguh berbeda ketika memutuskan menelusuri jalur lain dari sisi barat.
Sepanjang satu jam, yang harus ditakhlukkan adalah punggung bukit yang semakin menjulang. Nyaris tidak ada yang mengawani kami dalam perjalanan itu. Hanya sesekali saja, truk lewat dengan deru yang ngos-ngosan. Atau sepeda motor, yang seolah tiba-tiba saja muncul, dengan kecepatan luar biasa tinggi.
Pada sebuah tajakan yang menikung tajam ke kiri, setelah selalu harus berhati-hati karena medan yang kadang tak terduga, saya menepi. Agak mendadak, sehingga roda yang beradu aspal menderit.
Di sisi kanan jalan, saya melihat plang warna kayu, dengan ujung lancip menunjukkan arah menuju rumah juru kunci, tempat Kiai Panjala disimpan dalam kekeramatan yang terjaga. Rupanya saya sudah sampai di dekat lokasi. Benar-benar jalur yang pendek, meski penuh kejutan, karena baru pertama kalinya memasuki gerbang Pegunungan Seribu dari tepian barat.(bersambung)