Ini cerita yang termasuk penting dalam sejarah kepenulisan saya. Bertemu Suradal Abdul Manan Mahatmanto: penyair kawakan, Penyair Angkatan 45, seniman misterius kelahiran Kulur, Kulon Progo.
Hari ini, 13 Agustus adalah tanggal kelahirannya, meski ada sejumlah tulisan yang menyebut tanggal lahirnya 11 Agustus. Jika masih sugeng, usianya sudah 94 tahun. Tapi jejaknya nyaris tak pernah bisa ditebak. Terakhir, seniman yang lahir tahun 1924 itu, tinggal di Banjarnegara.
Baiklah. Biarkan misteri Pak Suradal yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. “Orangnya memang aneh. Dulu sekali pernah pulang ke sini, bawa mobil mewah. Tapi tidak lama menghilang lagi,” kata Mbah Kemat, sesepuh masyarakat Jombokan yang pernah mengenal Mahatmanto dalam sebuah kurun.
Begitulah. Suradal Mahatmanto di lingkungan masyarakat Jombokan, Tawangsari, Pengasih, Kulon Progo, dikenal sebagai seniman aneh. Senang menghilang untuk kembali lagi membawa kejutan. Misalnya saja, tiba-tiba saja ia menggegerkan masyarakat Jombokan di sebuah sore. Waktu itu, tersiar kabar ia menemukan patung emas di pomahan yang ditumbuhi pohon pisang.
Kalau tidak salah ingat, pomahan itu tidak jauh dari rumah Denpur, rumah keluarga Bu Parti, guru SD Janturan Satu yang legendaris, rumah keluarga Bung Giyo. Semua orang dibuat terkejut dan berduyun-duyun ke pekarangan itu.
Benar. Patung dada sedang dibopongnya. Saat itu, saya tidak tahu apa-apa. Masih usia SD dan tidak mengenal Mahatmanto. Yang saya tahu, patung itu, berhentuk Bung Karno warnanya warna tanah, bukan terbuat dari emas. Patung itu, bukan ditemukan, tapi memang karya Mahatmanto yang sengaja dikubur di tanah kosong, entah untuk tujuan apa.
Sudah. Tahun berlalu. Tidak ada lagi kabar tentang Mahatmanto. Saya baru ngeh, baru paham, baru mengenal, tokoh ini setelah berpuluh tahun kemudian. Saat itu, saya wartawan muda di koran tua yang dibuat di zaman perang kemerdekaan. Koran Ibukota paling berpengaruh. Di sanalah saya bertemu dengan literatur tentang penyair Kulon Progo bernama Suradal.
Selanjutnya, saya ngotot bertemu dengan Suradal ya Mahatmanto ya Bandoro Raden Bagus Tuwan Saiyid Sulaiman Suradal Adil Arif Agung Adikartono Abu Chalis Mahatmanto Murbaningrat al Ahlabi. Apalagi setelah sowan HB Jassin di Pusat Dokumentasi HB Jassin di Taman Ismail Marzuki, mendapat cerita lebih lengkap tentang Mahatmanto.
Dan, memakai pit ontel saya paksa ajak Densus ke Kulur. Dari Njombokan, menyusuri sawah lor, mlumpat rel di utara Pasar Cikli, terus menikung ke kanan. Ini termasuk daerah jajahan saya waktu masih kecil sering njajah deso milangkori.
Ketemu. Sebuah rumah yang sudah tua. Dengan pintu warna cokelat, dengan undak-undakan tinggi. Halamannya penuh rumput, dengan jalan masuk seukuran sementer yang kiri-kanananya dipagari pohon pisang.
Sepeda ontel saya sandarkan di pohon pisang di depan sebelah kanan. Lalu kulon nuwun. Begitu pintu di buka, secara sekilas, di dalam rumah sangat gelap. Lalu, ada clorot senter dan sandal diseret. Inilah penyair kondang, bagian dari sejarah sastra Indonesia: Mahatmanto.
Berpeci, bersarung, berbaju model safari. Agak curiga, ia menerima kami di undak-undakan rumahnya. Tapi tidak lama, suasana mencair (meski dari Densus puluhan tahun berikutnya saya mendengar cerita, katanya Pak Suradal tidak percaya kalau saya wartawan dari koran perjuangan).
Cerita ngalor-ngidul seperti umumnya tetangga. Saya memang tidak berniat untuk melakukan semacam wawancara atau apa. Saya hanya ingin bertemu, mendengar orang bersar bercerita. Nah, salah satu cerita yang saya ingat adalah soal artis cantik Ida Iasha. Saat itu, saya sedang cerita sedang naksir cah Siluwok Lor. Saya melukiskannya seayu Meriem Belina. Tapi Pak Suradal justru menyebut wanita ayu itu model Ida Iasha.
Setelah ngomongin Ida Iasha, tema beberapa kali berpindah. Sama sekali tidak ada tema sastra. Hanya sedikit menyinggung soal Rendra. Saat itu saya sudah mau pamit, sudah di atas pit ontel. Pak Suradal masih mengajak bicara.
“Ngepit itu masokis sekali njih pak?” Saya lontarkan kalimat itu, Pak Suradal mengjawab dengan gugatan tentang makna masokis. Dengan agak panjang, ia menerangkan, pemakaian kata masokis yang tidak tepat. Saya, tidak punya pilihan selain hanya mendengarkan cermahnya, sebelum akhirnya benar-benar pamit karena sore sudah mulai gelap.(*)
Prof. saya terkejut membaca judul tulisan ini, sampai merinding, karena saking rindunya saya pada beliau, Mahatmanto. Mungkin sayalah orang terakhir yang sering menemani beliau, di Wates, Yogyakarta. Bahkan sayalah yang sering mengantar beliau ke RS Wates. Karena itulah buku-buku, majalah2, Cassete lagu Barat lama dan foto2 beliau dihibahkan ke saya. Sayang sekali ekonomi saya pada waktu itu tidak bisa untuk merawat sakit beliau. Akhirnya saya menghubungi kluarga beliau ( ? ) yang di Bantul. Oleh kluarga Bantul tersebut beliau dibawa ke Banjarnegara. Sejak itu saya tidak ada komunikasi lagi ( skitar tahun 1997). Kemudian beberapa tahun berikutnya saya bertemu dg salah satu kluarga yang tinggal di Jombokan, mas Syahro Wardi. Dan dikatakan bahwa mbah Mahatmanto tlah meninggal dunia di Banjarnegara, skitar tahun 1997. Sungguh Prof.saya sangat menyesal tidak bisa merawat Penyair Besar, Mahadmanto sampai sempurna. Mudah2an tulisan ini sedikit ada manfaatnya untuk menyusuri jejak Penyair Besar kita, Mahatmanto. Trimakasih.
Selamat malam drs. Pribadi, saya sungguh terkesan dengan cerita bapak, terlebih mengenai sosok sastrawan terpinggirkan Bung Mahatmanto, kiranya seandainya saya bisa mendapati karya2nya yg bercecer di beberapa majalah, tentu saya akan senang sekali.
Adakah kemungkinan karya2 Bung Suradal ini bisa saya jumpai pada Pak Pribadi??
Hormat saya
Erwan S