Sekali lagi, ini tentang Kanjeng Sunan Kalijogo. Sebagai bagian dewan wali, sudah sangat banyak tulisan yang menelisik sisik-melik Sunan Kalijaga. Namanya memang, jauh lebih dikenal, terutama di seluruh tanah Jawa. Apalagi, atribut yang dikenakan (yang kita kenal di dalam banyak foto), juga mewakili identitas orang Jawa; blangkon dan surjan.
Beberapa catatan, menyebut, ia adalah Raden Mas Said. Bangsawan dari Tuban ini, lahir sekitar tahun 1450-an. Jalan hidupnya memang menarik, sebab, ia termasuk ningrat yang tak ta’at pada kebangsawannya. Sudah sangat sering, ia berselisih dengan Adipati Tuban, sang ayah. Terutama jika menyangkut kemiskinan rakyat, yang semakin memprihatinkan. Beberapa kali Mas Said, mengambil harta di kadipaten, kemudian dibagikan kepada banyak orang.
Puncaknya, saat ia ketahuan mengambil mas picis rojobrono milik ayahnya. Raden Mas Said dicambuk, sebagai hukumannya. Tapi segala rasa sakit, tak membuatnya jera. Ia terus melakukan aksinya, sampai Tumenggung Wilwatikta tidak memiliki pilihan; mengusir putranya.
Maka dimulailah fase menggembara. Pangeran Tuban, putra Tumenggung Wilwatikta ini, masuk hutan, memilih menjadi perampok, untuk menolong penderitaan rakyat. Usianya masih muda, saat ia menyebut diri Berandal Lokajaya – tokoh perampok yang baik hati.
Titik balik kehidupannya, terjadi saat menghentikan seorang tua. Dalam pertunjukan ketoprak (di kota-kota di Jogja dan Jawa Tengah) lakon ini termasuk yang popular. Dramatisasi, untuk kebutuhan panggung, tentulah terjadi. Misalnya saja, adegan saat Lokajaya mencegat pak tua – kelak diketahui, pria tua ini adalah Sunan Bonang.
Ia tega menghentikan langkah seorang renta, karena tertarik dengan tongkatnya. Tongkat itu, dalam pandangan Lokajaya, bersepuh emas. Tentu mahal. Ia sudah membayangkan akan mendapat uang banyak, untuk dibagikan kepada rakyat.
“Nanti dulu anak muda. Jika engkau menginginkan emas, petiklah di pohon aren itu,” Sunan Bonang menunjuk aren yang lebat di pohon, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Lokajaya mengikuti gerakan telunjuk pria renta itu. Seketika, matanya terbeliak. Ia melihat pohon aren itu, berbuah emas berkilauan. Ia ambruk. Luruh ke tanah. Kesadarannya seperti berloncatan. Kilau emas itu, membuatnya tak berdaya. Tersihir.
Ketika sihir emas itu, mulai mengendur, Raden Mas Said mengangkat wajahnya yang merebah tanah. Ia tak berani lagi, melihat kemilau yang bergayutan di pohon aren itu. Ia mencari sosok tua, yang telah membuatnya tak berdaya. Ia sadar, pengembara renta itu, bukan orang sembarangan. Ia ingin mengabdi, berguru, menjadi pengikutnya.
Seketika, Brandal Lokajaya bangkit, berlari, tak peduli harus tersangkut-sangkut perdu. Langkah kakinya semakin cepat, gerak tubuhnya, bagai terbang. Melesat. Ia ingin segera menyusul orang tua, yang telah menyodorkan kesadaran. Tapi yang dikejar tak ditemukan, sehingga ia terus berloncatan. Menabrak dedaunan, meloncati ranting, menerjang dahan ilalang yang menjulang.
Pengejarannya baru berhenti, ketika dilihatnya, ada sosok yang sedang sholat. Di tepian sungai, pria tua itu, rukuk di atas batu besar. Lokajaya mendekat dengan nafas yang terdengar seperti deru gasing. Lama, ia menunggu. Tapi niatnya, sudah tak lagi bisa ditekuk, mengakhiri penggembarannya sebagai berandal, berguru kepada orang tua yang sakti ini.
“Namaku Bonang. Mengapa engkau jadi perampok raden?” Percakapan terjadi, usai sholat dan doa panjang dilakukan Sunan Bonang. Raden Mas Said mengisahkan jalan hidupnya. Tuntas, tanpa ada yang terkelupas. Jelas tanpa ada yang diperas.
“Raden bersesucilah. Kemudian, tunggui tongkat saya ini. Jangan pernah beranjak dari dudukmu. Jaga sampai saya kembali.” Sunan Bonang menancapkan tongkatnya, saat Raden Mas Said menuju kedung, mandi besar. Begitulah kira-kira adegan yang sering muncul dalam ketoprak. (bersambung)