Siang yang cerah. Matahari baru condong ke barat beberapa derajat. Angin siang semilir. Angin yang memberi sejuk kampung yang tidak tertulis dalam pemerintahan. mBanaran namanya. Termasuk dusun Jombokan, desa Tawangsari kecamatan Pengasih, Kulon Progo, DIY.
Ada sosok mbah tuwa, tokoh pelestari adat kampung yang tersisa. Ia tokoh terakhir yang masih dimiliki mBanaran. Siang itu, Mbah Marto Siyo menuntun kambing jantan hitam besar gemuk. Dibawa menuju protelon mBanaran. Protelon adalah jalan simpang tiga yang merupakan titik temu tiga arah.
Ketika sambil jalan menuntun kambing, Mbah Marto lewat depan Rumah Mbah Kromo. “Ayo mo mangkat,” ajak Mbah Marto.
“Mengko sek, Kono mangkat disik, aku tak ngasah peso sik,” jawab Mbah Kromo.
Mbah Marto pun berlalu menuju protelon mBanaran. Sedang Mbah Kromo benar mengasah pisau dan bapang. Selesai ngasah ngasah pisau dan bapang, simbah memanggilku.
“Ayo Sos, ndelok wong mbeleh weduse.”
Kemudian, kami berjalan menuju protelon. Di protelon sudah berkumpul warga mBanaran. Mbah Reso Diwiryo bakul kijing, Mbah Somo Duriyo bakul nomer, Mbah Rokhadi, kaum Kampung, Mbah Kasan Suhadi bakul es, Mbah sono Kuru, tukang kayu, Parto Kuwat, tukang kayu, Sokariyo, peternak ayam aduan. Juga, Mbah Rono.
Sementara di barisan anak anak ada Heri Susilo, Jalal, Marno, Sosilo, Ato, Wawan, Yuno, Muhrodi, Sholikin., Romidi. Sementara anak perempuan ada Nining, Rantiyem, Sarinah, Jumiyem, Warsih. Nasib juga turut menyaksikan penyembelihan kambing. Kami semua, anak-anak yang tak paham benar dengan yang dilakukan para tetua kampung.
“Mbah mengapa yang motong kambing harus Mbah kaum?” Aku bertanya sambil menggelendot di pangkuan simbah yang jongkok dua langkah dari Mbah Kaum.
“Biar sah,” jawab simbah.
“Soalnya Mbah Rokhadi sholatnya rajin, rajin ke masjid, dan rajin jumatan,” lanjut penjelasan simbah.
Setelah kambing dipotong, dikuliti, kemudian daging dan tulang dibagi di atas daun pisang sejumlah 35 bungkus. Belum Pakai plastik. Darah kambing diwadahi kendil dan setelah membeku di iris iris jadi 35 potong. Kulit kambing juga dibagi 35. Kemudian ada 34 tumpuk daging kambing yang terdiri dari daging, tulang, darah, dan kulit. Sementara kepala kambing ditanam di tengah jalan.
“Wis rampung, ayo gek ambil. Sebungkusnya Rp. 1.500.” kata Mbah Marto
1500×35: ketemu Rp. 52.500 padahal harga kambing jantan waktu itu 55.000 . Jadi Mbah Marto masih harus nombok, namun demi lestarinya budaya tradisional Baritan di kampung mBanaran, beliau rela. Beliau percaya rejeki akan datang dari Yang Maha Agung melalui jalan yang tidak terduga.
Kemudian kami nengambil bagian sambil menyerahkan uang 1500 per bagian.
“Ibu suruh ambil tiga Bagian,” ujar Ato anak Bu Rusdi.
Semua yang hadir kaget. Namum akhirnya kami maklum. Karena keluarga besar. Dan Pak Rusdi bekerja di restoran kereta api. Kami berpikir uangnya banyak tentu tak masalah kalau cuma bayar tiga bungkus.
Sebenarnya harga terlalu mahal bila dibandingkan dengan beli di pasar. Namun demi kebersamaan tradisi Kampung. Kami rela membayar. Istilahnya beli jamu, barangnya sedikit, harganya mahal, dimakan sendiri kurang.
Mbah Kromo mengambil satu bagian. “Duwitnya besok ya, belum pegang hare,” ujar Mbah Kromo kepada Mbah Marto. Mbah Marto hanya diam. Diam berarti boleh. Kemudian kami pulang.
Sampai dirumah kami masak daging kambing. Kulit kambing kami potong jadi 10 potong kemudian dipakukan di pojok rumah. Empat sudut rumah, di atas pintu. Darah beku kambing dioleskan pada tiap sudut membentuk simbol + atau X, ada kopat luar. Dan di dapur simbok menyiapkan golong, sayur dan lauknya. Untuk makan bersama. Kepungan di protelon dan sajen di rumah.
Sementara di protelon dilanjutkan kerja bakti. Pasang tratag. Pinjam tikar pedukuhan, pinjam coblok, ceret, dan gelas. Merebus air untuk minum, pinjam petromak untuk penerangan.
Habis magrib, malam pun menjelang. Simbah Kromo dandan, pakai pakaian Jawa lengkap. Iket belangkon Mataraman, Jarit wiru. Ada juga yang bersarung dan berpeci. Anak-anak diajak. Mereka membawa tampah berisi golong nasi, sayur dan lauk menuju protelon.
Disana mulai berdatangan, walaupun tidak kangsen kami bisa berkumpul pada jam yang sama. Simbah Simbah dan bapak duduk di atas, anak-anak berkumpul dibawah. Pemuda menerima tampah dan mengelompokkan nasi dengan nasi, sayur dengan sayur, dan lauk dengan lauk. Setelah terkumpul kemudian dibagi sesuai yang hadir. Ada sekitar 60 yang hadir malam itu. Sebuah acara yang sukses.
Tokoh masyarakat pun hadir, pak Dukuh, pak makmur, pak sosial dan poro pinisepuh kampung. Mbah Rokhadi membaca doa. Semua yang hadir menengadahkan tangan dan mengaminkan doa.
Selesai doa teh panas keluar, bersama nasi, sayur dan lauk dibagikan. Kami makan bersama. Bercerita dan saling menyapa sesama warga. Semalam penuh kami bergadang tidak tidur. Menyambut pergantian tahun Jawa, Satu Suro dengan acara yang kami sebut dengan Baritan.(stmj)