Pagi-pagi sekali mereka terbangun seperti dalam mimpi saja, mereka bertiga bersama-sama membuka mata.
Ketiganya saling berpandangan dan sama-sama tidak mengucapkan satu kalimatpun. Namun mereka sepakat untuk beranjak dari tempat mereka sedari tadi malam. Mereka berjalan bersama-sama dan tujuan mereka juga sama, pergi ke kali yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka.
Tanpa dikomando, mereka keluar rumah mengambil langkah cepat bahkan tergesa-gesa, berjalan cepat seperti ingin segera mendapatkan sesuatu yang mereka cari. Mereka tetap diam tidak berbicara, mereka juga tidak menoleh ke kanan ke kiri, tujuannya hanya satu untuk segera sampai di sungai.
Ketiganya langsung masuk ke sungai, kebetulah ketika itu sungainya sedang mongering. Meski masih ada air gemericik, namun tidak sampai kering kerontang. Hanya beberapa aliaran air kecil yang masih setia membasahi batu dan kerikil kecil di sepanjang aliran sungai yang membelah desa.
Mereka berbaris, berjongkok masih tidak berbicara satu sama lain. Hanya sesekali mereka menoleh satu dan lainnya dengan wajah ditekuk. Terkadang tampak serius, mereka seperti tengah mempertaruhkan sesuatu yang tidak hendak diketahui satu dengan lainnya.
Sambil berjongkok, mereka menerawang jauh ke depan membayangkan kehidupan yang bakal mereka hadapi bersama. Masing-masing dengan khayalan mereka sendiri-sendiri, terkadang mereka tersenyum kecil meski tetap tidak satu katapun keluar dari mulut mereka.
Paidi masih tetap membayangkan Mirah yang nun jauh di seberang sana, entah apa yang sedang dilakukan sepagi ini. Kalau di kampong seperti dulu, sepagi ini Mirah tengah mempersiapkan diri untuk sarapan. Meski tidak sarapan dalam arti yang sesungguhnya, karena hanya ada air panas terkadang teh hangat meski sendirian tidak ada lauk dan penganan lain.
Paidi tersenyum simpul, membayangkan apa-apa yang pernah dijalani bersama Mirah. Kenangan manis yang tertinggal dalam benaknya, meski sekarang dipisahkan keadaan yang tidak mereka inginkan berdua. Namun mereka harus menghadapi kenyataan di hadapannya.
Madanom membisiki Madsani, supaya tidak mengusik lamunan Paidi. Mereka berbisik-bisik, pelan sekali hampir tidak terdengar namun keduanya memahami pemandangan apa yang tengah mereka saksikan. Paidi anaknya sedang tersenyum-senyum simpul sendiri saja, meski mereka tidak berkata-kata namun mengetahui alur pemikiran yang tengah membebani benak satu sama lainnya.
Madanom khawatir, senyum misterius yang tengah mereka saksikan akankah mendatangkan permasalahan di masa yang akan datang. Atau hanya senyuman yang menghantarkan suasana di pagi hari. Madanom berdoa, mudah-mudahan kekhawatirannya tidak menjadi kenyataan. Justru angannya terwujud dalam kehidupan mereka di masa depan. Senyuman misterius yang menyemarakkan semangat pagi hari. Sebagaimana semangat mereka ketika terbangun dari tidur nyenyak bersam hingga bangun dan ke sungai harus bersama-sama.
Harapan mereka bersama, kehidupan selanjutnya menjadi lebih baik. Tidak lagi menghadapi hiruk pikuk kehidupan ini dengan berbagai permasalahan. Meski tidak hendak melarikan diri dari kenyataan kehidupan yang mereka jalani, namun juga tidak ingin berkutat dalam kehidupan yang serba sempit menghimpit.
Dalam benak terpikir, Madsani dan Madanom memperbaiki kehidupan ekonomi mereka dengan hijrah, menempuh perjalanan panjang yang sangat penjang. Menjalani kehidupan dan berjuang di tanah harapan. Tapi orangtua keduanya sangat memerlukan mereka untuk sekedar menemani.(bersambung)