“Pakne,” kata Madanom berbisik sambil mendekat, sambil merajuk, sesekali nggelendhot, menyandarkan kepala ke bahu suaminya.
Madanom memperkirakan suasana perbincangan bakal menjadi seru, untuk sementara masih menunda pembicaraan menyakut anaknya. Suasana hati sang suami masih diliputi berbagai persoalan yang menggelayutinya.
Baru kemarin saja terjadi silang pendapat antara keduanya, tidak lain hanya mempersoalkan sang anak yang tengah beranjak remaja. Permasalahan anak-anak yang bisa dibilang sederhana, namun kalau dibiarkan dapat menjadi prahara. Bisa saja menjadi perang bubat yang mendatangkan berbagai persoalan di belakang.
Untuk itulah Madanom merasa perlu memperbincangkan dengan suaminya, agar permasalahan cepat selesai sehingga tidak berlarut-larut yang akan merepotkan usaha mencari penghidupan. Kalau upaya mempertahankan kehidupan wajar saja sudah sulit, apalagi kalau harus ditambah dengan tetek-bengek persoalan yang sesungguhnya tidak sangat mendesak.
Mangu-mangu Madanom menyampaikan isi hatinya kepada sang suami, ada keraguan. Niat baik saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah, harus diikuti dengan kewaspadaan lingkungan sekitarnya. Meski keduanya sudah lama berumah tangga, seumur anaknya yang mulai berangkat remaja, namun mereka berdua masih sering menghadapi masalah dalam berkomunikasi.
Sering tidak nyambung antara satu dengan lainnya, meski sudah menggunakan pendekatan budaya egaliter, namun masih saja muncul hambatan. Banyak persoalan yang menyertai, bukan saja anak-anak mereka yang membutuhkan perhatian namun juga masalah hidup dan penghidupan.
Madanom tetap berhasrat untuk segera menyelesaikan persoalan yang menggelayuti rumah tangganya. Jangan sampai berlarut-larut, namun juga jangan sampai justru mendatangkan permasalahan baru. Permasalahan yang tidak diinginkan dan hanya akan menambah persoalan sehingga akan menjadikan kehidupan rumah tangganya menjadi galau.
Perlahan tetapi pasti, Madanom membicarakan kepada suaminya. Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Madsani, hanya itu harapan yang terpendam dalam hatinya. Madanom tidak hendak menjadikan permasalahan anaknya menjadi berlarut, juga tidak ingin mendatangkan permasalahan baru.
“Pakne,” Madanom makin merajuk, namun yang diajak bicara belum benar-benar menanggapi. Hanya merapatkan kening di kepala sang istri. Madanom juga tidak meneruskan pembicaraannya, membiarkan kepada suaminya beradu dan masing-masing mencari sendiri tempat beradu yang tepat.
“Pakneee,” suara Madanom makin tak terdengar, sayup-sayup namun memberikan kekuatan dan kepastian sehingga keduanya hanyut dalam suasana yang pasti. Keduanya bergandengan tangan sambil tetap merapatkan badan, mereka berangkat ke peraduan untuk meneruskan cerita yang dirajutnya.(bersambung)