Yen ing tawang ono lintang cah ayu Aku ngenteni teka mu Marang mego ing angkoso Sung takok-ke pawartamu Janji janji aku eleng cah ayu ngenteni bulan ndadari Sumedot roso ing ati Lintang lintang’e wingi wingi nimas Tresna ku sundul ing ati Ndek semono janjimu disekseni Mego kartiko keiring roso tresno asih Yen ing tawang ono lintang cah ayu Rungokno tangis ing ati Miraring swara ing ratri nimas
Madasani leyeh-leyeh setelah seharian bekerja. Sambil menunggu datangnya waktu maghrib. Madsani sengaja memutar kaset, kesukaannya tembang-tembang jawa. Kolesi kasetnya cukup banyak. Keroncong ada, campursari banyak. Tembang jawa bahkan kethoprak dan wayang kulit tersimpan di almari.
Paidi yang belum benar-benar mengetahui makna di balik tembang jawa yang didengarkan ikut menikmati. Meski syairnya tidak dipahami, namun nada dan iramanya cukup menenteramkan. Paidi turut menikmati langgam jawa yang memberikan kesejukan jiwa. Paidi seperti beo saja menirukan lagu-lagu yang didendangkan Madsani. Tidak mengetahui makna yang dikandung di dalamnya.
Madsani yang giat bekerja sejak sedari masih muda. Mulai menikmati hasilnya. Meski tidak berlebihan. Namun Madsani mampu menjalani kehidupan sebagaimana layaknya masyarakat yang tinggal di perkampungan. Dalam banyak hal Madsani menjadi pelopor. Ketika masyarakat belum melek teknologi, Madsani sudah mulai berkenalan dengan alat-alat elektronika.
Radio transistor masih merupakan barang langka di kampungnya. Ketika Bung Karno menyampaikan pidato. Bung Tomo menyiarkan retorikanya rumah Madsani banyak yang ngendhong. Banyak orang njagong, sekedar duduk-duduk bercengkerama melepas lelas setelah seharian bekerja.
Tidak ketinggalan ketika lagu-lagu keroncong menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Rumah Madsani tidak seberapa besar dan masih berlantai tanah meski sudah memakai genteng. Pemuda-pemuda tanggung selalu bermalam minggu sambil mendengarkan pilihan pendengar. Orang-orang setengah baya lesehan setelah seharian bekerja. Tidur sore belum lazim, sedangkan menyaksikan wayang kulit masih harus menunggu merti deso.
Paidi belum menyelesaikan pendidikan dasar ketika orangtuanya kembali ke kampung halaman. Rencana pindah ke Tangkasan berantakan setelah berbagai pertimbangan didiskusikan. Padahal orangtua Madanom sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Rumah siap berdiri di lahan kosong depan rumah keluarga besar Madanom. Perabotan juga sudah disiapkan, tinggal menunggu saat-saat yang tepat perpindahan dilakukan.(bersambung)