Kali ini Paidi merasakan lebih dahsyat. Ada getaran rasa yang terpendam. Tapi entah mengapa, kepada siapa juga tidak jelas.
Satu yang terasa selama berhari-hari ini muncul kegembiraan, bersamaan dengan kegalauan. Suka cita datang hampir bersama-sama duka lara, sedih dan nestapa. Apa yang menjadi penyebabnya juga tidak kunjung diketahui. Satu hal yang nyata adalah ganjalan dalam dada, terasa menyesakkan menuntut untuk memberikan jalan keluar.
Paidi kadang termenung sendiri. Di tengah malam buta, tiba-tiba saja terbangun. Di tengah pelajaran di kelas terkadang selintas terbayangkan kehidupan di masa-masa sebelumnya. Masa kanak-kanak yang lamat-lamat terbayang kembali. Masa kecil ketika masih berada di kampung halaman mbah buyut atau masa-masa ketika berdua dengan Mirah. Di tengah malam buta, sendiri terkadang Paidi tersenyum bahkan terbawa serta dalam mimpi-mimpi membayangi sampai pagi.
“Mikir Mirah ya,”
“Yang lalu, biarlah berlalu,”
“Pikirkan yang ada sekarang,”
“Masa depan masih sangat panjang,”
“Jangan pula disia-siakan, akan tidak baik,”
“Pikirkan masa depanmu agar menjadi lebih baik,”
Sri Wibowo dan Sri Wiwoho menghampiri. Langsung saja keduanya duduk di sebelah Paidi sambil memegang pundak keduanya hampir bersamaan nyeletuk. “Lagi ngelamun ya,” yang disapa tergagap dan berusaha mengelak. Keduanya langsung nyerocos tidak henti-hentinya memborbardir dengan berbagai pertanyaan. Paidi tergagap-gagap. Sebelum memberikan penjelasan kedua temannya sudah menyajikan pertanyaan yang sesungguhnya tidak membutuhkan jawaban.
Paidi termenung. Mengingat-ingat kedua temannya. Wajahnya sangat kenal, namun namanya tidak jelas. Keduanya jelas benar, teman semasa masih di sekolah kampung. Kelasnya juga tidak begitu jelas. Namun yang pasti ketika Mirah terjatuh saat olah raga, keduanya tampak di antara kerumunan. Keduanya ikut membantu memberikan pertolongan pertama saat kecelakaan.
Sekian lama ngobrol bareng, keduanya belum saling memberikan nama. Meski keduanya langsung menyapa Paidi sangat akrab. Memberikan harapan, menyajikan janji-janji indah. Padahal Paidi tidak tengah kasmaran. Tidak tengah jatuh cinta. Juga tidak tengah patah hati. Paidi memang tengah dirundung berbagai pikiran. Persoalan orang tua dan kerabatnya yang sering menyita perhatian dan alam pikirannya. Mbakyu dan adik-adiknya jauh lebih membutuhkan perhatian. Sebagai lananging ajurit, dituntut untuk memayu hayuning bawono.
Sebagai lanang pertama yang lahir di antara 11 bersaudara, sejarah memikulkan beban di pundaknya. Meski tidak seluruhnya mencapai masa remaja, namun tetap saja membutuhkan dukungan lahir dan batin. Sebelas bersaudara yang akan bertemu di kemudian hari.
Bukan hanya berkumpul ketika menjalani kehidupan di alam ramai, melainkan di perkampungan kelak di hari-hari selanjutnya. Untuk itu memberikan obor bagi perjalanan yang akan dilalui sebuah rombongan besar dalam sebuah konvoi menjadi kaharusan yang tidak dapat ditolak. Jangankan untuk rombongan yang terdiri satu regu dari sebuah kafilah, mutlak membutuhkan seorang yang tampil sebagaia cucuking ajurit, cucuking lampah.
Mirah memang masih memenuhi alam pikirannya, namun tidak seluruhnya. Tidak dapat dipungkiri, Mirah pernah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Meski tidak pernah terucapkan kata-kata indah, juga tidak ada kegiatan yang dapat digolongkan kepada kemesraan.
Namun perjalanan bersama pergi pulang sekolah memberi bekas-bekas yang tidak mudah dilupakan begitu saja. Berboncengan sepeda selama tiga tahun memberikan guratan hati. Membekas rasa kasih dan sayang, sebagai sosok kakak dan adik. (bersambung)