“Lha wong babone Bangkok, anake yo Bangkok,” demikian ibu-ibu memberikan julukan kepada anak yang baru beranjak remaja. Potongan baik, jahitan baik maka hasilnya juga menjadi baik. Pas benar dengan penampilannya. Membuat siapa saja akan berdecak kagum menyaksikan keindahan.
Bukan kebetulan kalau Mirah mendapat penghargaan setinggi langit dari orang-orang di sekelilingnya. Juga bukan hanya gemulai penampilannya yang mengundang kekaguman, sopan santunnya juga terjaga.
“Akan beruntung laki-laki yang mendapatkannya kelak,” Paidi terkesiap mendengarkan kalimat terakhir yang meluncur dari pembicaraan ibu-ibu di teras sebuah rumah sambil menunggu datangnya sore. Banyak kalimat sudah didengarkan. Banyak pembicaraan kaum ibu yang melintas di telinganya. Namun hanya kalimat terakhir itu yang benar-benar menjadikan Paidi berdebar tidak menentu. Entah apa dan mengapa hal itu terjadi. Paidi tidak kunjung mengetahuinya. Paidi juga tidak berusaha mencari tahu dengan menanyakan kepada ibu-ibu yang masih asyik bercengkerama.
Paidi-Mirah bagai sejoli yang tak terpisahkan. Mereka seperti tidak hendak terpisahkan. Teman-teman mereka mengetahui hal itu. Namun tetap saja banyak mata lelaki yang mencoba menggodanya. Teman-teman sekelasnya juga tidak tinggal diam. Ada yang mencoba mendekatinya di luar pengetahuan Paidi tentunya. Mirah tidak dapat menolak ajakan temannya untuk berkenalan. Namun dalam hati Mirah tetap Paidi yang terpatri.
Banyak usaha teman sekelasnya yang mencoba mendekati. Basa-basi bertanya tentang banyak hal. Atau sekedar meminjam buku catatan, namun semua diberlakukan sama sebagai teman. Tidak ada yang dibedakan, setiap orang yang hendak meminjam buku atau apapun diperlakukan sama. Tidak ada yang istimewa, juga tidak ada diskriminasi. Semua teman. Ya semua sebatas teman. Teman sekelas, teman sepermainan.
Apalagi ketika pelajaran olahraga. Banyak teman perempuan menganguminya. Kalau teman perempuannya saja mengagumi, teman-teman lelaki mereka akan berdecak kagum. Guru olahraga di sekolah itu bahkan sering mencuri-curi pandang. Terkadang mencari kesempatan untuk dapat sekedar berbincang-bincang. Ada saja yang dijadikan alasan, mengambil bola, mengambil buku absensi atau apa saja. Pak guru memanfaatkan banyak kesempatan untuk dapat memberikan latihan beberapa cabang olahraga. Padahal Mirah juga tahu kalau semua hanya alasan semata.
Guru olahraga memang memiliki pesona tersendiri di antara anak-anak didiknya. Apalagi penampilannya, masih muda, energik dan banyak ketrampilan olahraga yang dikuasainya. Mulai bola voli, sepak bolah, kasti dan tentunya senam. Ketika mengajarkan latihan senam lantai, guru olahraga banyak membantu dengan memegang pundak anak-anak yang siap jungkirbalik. Banyak anak perempuan yang tidak berani langsung jungkirbalik. Loncatan harimau dengan balok bersusun menjadi momok tersendiri. Selain membutuhkan keberanian, juga nyali yang sangat tinggi.
“Mirah,”
“Silahkan melompat,”
Guru olahraga memerintah. Mirah sudah panas dingin sebelum melakukan loncatan. Apalagi balok susunnya setingga dada. Kalau anak laki-laki sudah terbiasa memanjat pohon sehingga tidak ada ragu lagi meloncat setinggi itu. Anak perempuan, kecuali yang memang tombai terbiasa dengan tantangan. Mirah termasuk yang agak penakut untuk urusan yang satu ini. Namun guru olahraga tidak memberikan toleransi. Siapapun harus dapat melewati rintangan yang sengaja dibuat.(bersambung)