Api Cinta (37): Aku jadi Pak Lurah kamu jadi Ibu Lurah

oleh -147 Dilihat
oleh

Orangtua mereka juga tidak mempermasalahkan, keduanya runtang-runtung. Dalam pandangan orangtua keduanya tokh mereka masih kanak-kanak. Biarlah masa kanak-kanak mereka lalui dengan sangat gembira. Sebagaimana halnya anak-anak yang masih mencari cara untuk bersosialisasi dengan lingkungannya.

“Suk nek gedhe aku pingin dadi guru,” tiba-tiba saja Paidi mengemukakan apa yang ada dalam benaknya. Guru itu pekerjaannya sangat baik. Coba saja bu guru Syamsiyah.

“Nek aku arep dadi sodagar,” kata Mirah menimpali. Sodagar itu enak. Hidup berkecukupan, serba ada dan yang penting memiliki banyak barang mewah di rumahnya. Sodagar itu di rumahnya selalu tersedia macam-macam makanan enak.  Aku pernah ke ndagaran diajak bapak, suguhannya banyak dan menyenangkan.

“Aku yo pingin dadi tentara,” kata Paidi lagi.

“Aku yo pingin dadi polisi,” kata Paidi melanjutkan.

“Aku yo pingin dadi pilot,” kata Paidi di lain kesempatan.

“Aku yo pingin dadi pak lurah,” kata Paidi suatu ketika

Ketika bersama Mirah bermain di pinggir pematang sawah paidi beralasan. Pak Lurah itu sawahnya banyak. Itu sepanjang mata memandang, sawah Pak Lurah. Selain bengkok masih banyak lagi sawah yang ditanami padi dan palawija. Pak Lurah pasti hidupnya enak, dihormati banyak orang dan mendapat kesempatan di berbagai undangan.

“Mir … mir,” Paidi nyeletuk.

“Kamu jadi Ibu Lurah,” pintanya.

“Aku jadi Pak lurah kamu jadi Ibu Lurah,” terangnya.

Pak Lurah dan Ibu Lurah anaknya banyak. Lanang wedok, lanang wedok. Semua anak Pak Lurah memiliki sepeda yang bagus. Ke mana pergi selalu membawa serta sepeda. Mereka tidak perlu ke sawah dan ladang. Mereka juga tidak perlu ngangon di bawah terik matahari. Meski mereka anak petani, namun sawah dan ladang sudah ada yang menggarapnya.  Ternak yang banyak juga tinggal nggadhuh Pak Lurah yang membeli, warga yang memelihara. Sedang hasilnya dibagi sama.

Kalaupun tidak ada yang nggaduh, makanan ternak dapat dibeli di pasar. Sedangkan sawah dan ladang ada buruh tani yang siap mengerjakan.  Anak Pak Lurah dan Ibu Lurah tidak akan pernah susah. Semua serba tersedia dan setiap kebutuhan yang diperlukan  selalu disiapkan.

“Pokoke  aku dadi Pak Lurah, kowe dadi Ibu Lurah,” Paidi menegaskan. Pak Lurah mesti enak dan kepenak. Tidak banyak pekerjaan di sawah dan ladang. Tidak banyak pekerjaan ngarit dan ngangon. Semua sudah dapat dikerjakan orang-orang yang dengan senang hati. Buruh tani dan tukang angon tersedia sangat banyak di masyarakat. tinggal memanggil dan memberikan upah semua sudah beres.

“Pak Lurah ki gaweyane opo, njuk Ibu Lurah gaweyane opo yo,” kata Mirah mencari tahu apa yang bakal dikerjakan setelah menjadi Ibu Lurah seperti keinginan mereka berdua.

Opo Ibu Lurah ki yo koyo biyung,”

“Opo Ibu Lurah ki yo masak barang to,” lanjutnya.

“Opo yo neteki anake,”

“Opo, opo,….” banyak lagi yang dipikirkan Mirah.

“Pak Lurah ki yo le turu bareng karo Ibu Lurah,”  Mirah bertanya kepada Paidi yang tidak kunjung menjawab. Paidi juga tidak mengerti bagaimana kehidupan Pak Lurah dan Ibu Lurah yang sesungguhnya. Mereka hanya tahu kalau Pak Lurah dan Ibu Lurah selalu berkecukupan hidupnya. Hidup senang, tidak kekurangan seperti orangtua mereka bedua.

Pak Luarah kalau gendhuren selalu di depan. Pak Lurah dan Ibu Lurah anake pinter-pinter. Ke mana-mana naik sepeda. Tidak seperti dirinya yang setiap sekolah harus meniti pematang sawah. Anak Pak Lurah juga tidak perlu angon, tidak perlu derep dan tidak perlu menggarap sawah. Meskipun mereka petani tetapi tidak pernah menggarap sawah dan ladang. Mereka tetap petani, meski tidak pernah terjun langsung ke sawah dan ladang. Mereka tidak pernah belepotan dengan lumpur.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.