Api Cinta (26): Jur-juran yuk, Kasi Wit Elo

oleh -810 Dilihat
oleh

Paidi menyaksikan bebek-bebek yang berhamburan di Kali Jali. Tidak peduli banjir tengah menerjang. Namun bebek-bebek itu tetap saja berenang. Hanya sesekali ke tengah, lebih banyak berenang di tepi Kali Jali yang tengah membawa seluruh material dari hilirnya.

Meski kecil badannya, bebek-bebek dapat bertahan di arus deras banjir. Paidi memiliki badan lebih besar dibandingkan dengan bebek-bebek yang digembalakan. “Bebek-bebek saja dapat bertahan di air deras,” pikirnya.

Paidi berusaha meniru gaya bebek-bebek berenang sambil mempertahankan diri di tengah banjir bandang yang menerjang segala yang menghalangi. Ternyata bebek juga memiliki ilmu untuk mengikuti arus air yang membawanya serta. Bebek-bebek itu tidak melawan arus air, melainkan mengikuti ke mana air mengalir ke sana badan dibawa.

Madanom lama tidak mengetahui keadaan anak semata wayangnya, Paidi. Untuk beberapa waktu terpisah, bapak-ibunya mempersiapkan kepindahan. Meski tengah hamil muda Madanom tetap semangat mengemasi barang dan perabotan yang akan dibawa serta. Tidak banyak barang yang dibawa. Selain memang tidak banyak perabotan yang ada. Juga untuk keperluan sehari-hari sementara dapat bergabung di dapur simbok.

Hari-hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Madsani dan Madanom bertemu Paidi, setelah sekian lama tidak bertemu. Tidak ada peluk cium, tidak ada kemesraan. Semua berjalan seperti biasa saja. Selain sibuk dengan urusan masing-masing, Paidi lebih senang bermain dengan kerbau, bebek dan kelereng di bawah pohon sawo. Sesekali mandi di Kali Jali yang menyegarkan badan. Apalagi di tengah terik matahari yang tidak memberi ampun.

Ketika kemarau Kali Jali tidak banyak airnya. Sesekali penduduk sekitar dapat memanfaatkan untuk keperluan mandi dan mencuci. Sedangkan anak-anak mandi sepuasnya. Air cukup banyak ketika bendungan di hilir ditutup agar sawah-sawah tetap memperoleh pasokan air yang cukup. Paidi dan anak-anak sebayanya mandi sepuasnya di Kali Jali.

“Jur-juran yuk, kasi wit elo,” ajak teman-teman Paidi. Pohon-pohon besar yang dahanya menjulang di atas sungai menjadi tempat paling favorit. Anak-anak yang masih remaja telanjang kaki, telanjang dada dan hanya sebagian mengenakan cawat. Paidi berlomba terjun dari pohon elo yang melintang setengah sungai. (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.