Paidi tidak siap menghadapi perempuan yang berurai air mata. Apalagi dibumbui suasana keluarga di kampung halaman. Terlepas apakah benar keadaan yang sesungguhnya atau sebatas modus.
Hatinya selalu tertambat kepada masalah kemiskinan dan keluarga miskin. Hatinya trenyuh ketika menyaksikan anak-anak mengais tumpukan sampah hanya untuk mendapatkan sedikit uang.
Paidi tidak ingin melewatkan kesempatan baik yang ada di hadapannya. Membuat laporan mendalam mengenai masalah kemiskinan, termasuk salah satunya fenomena pelacuran. Tetapi juga tidak hendak terjebak kepada masalah ego sentris, melankonis. Perasaan dan empati yang besar harus ditinggalkan untuk memperoleh hasil berupa tulisan maksimal.
Paidi sampai kepada satu kesimpulan. Minta bantuan sahabatnya untuk menemani melakukan wawancara di Simpang Lima dan Sunan Kuning. Tidak perduli diperolok temannya, satu hal yang penting untuk tidak menjerumuskan diri terlalu dalam di lembah pelacuran. Paidi tidak hendak terjebak dalam tulisan fiktif, hasil tulisan harus benar-benar fakta yang diperoleh dari lapangan.
Jurnalistik murni mensyaratkan untuk tidak mencampuradukkan antara fakta dan opini penulisnya. Juga terlarang memasukkan perasaan dalam tulisan. Fakta harus disampaikan sebenar-benarnya, tidak boleh dicampur dengan yang lain.
“Ini kesempatan untuk menjawab semua tuduhan,”
“Membuat laporan panjang di Koran Kampus,”
“Membersihkan kesan buruk yang terlanjur,”
“Menjawab tantangan yang mereka sebar,”
“Sekali jawab akan cukup untuk semua,”
“Ya, laporan bersambung di koran,”
“Cukup menjelaskan kronologi,”
“Bukan membela diri sendiri,”
“Bukan asal saja berbicara,”
Paidi menghubungi sahabatnya, menyampaikan keinginannya. Mengutarakan maksud dan tujuannya. Juga menyampaikan adanya kesempatan untuk membuat tulisan Koran Kampus. Untuk menjawab semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Kalau menjelaskan kepada semua orang tidak mungkin. Selain tidak ada forumnya, juga tidak ada kesempatan untuk itu.
Minta bantuan mereka untuk menemani wawancara. Sepertinya naif, tapi harus dilakukan. Untuk menepis semua anggapan, sekaligus untuk memberikan jawaban hanya sebatas wawancara bukan sambil menyelam minum air. Bukan menjadikan wawancara sebagai kedok untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Paidi masih harus menimbang kepada siapa mengajak sahabat untuk menemani. Siapa gerangan orang yang bersedia melakukannya. Sahabat karibnya, Kribo. Mungkinkah bersedia. Maria perempuan berjilbab satu-satunya di kampus. Apakah mereka berdua bersedia menemani wawancara. Bukankan mereka juga sibuk dengan segala urusan mereka.
Maria menyesal mendapat penjelasan panjang lebar, kejadiaan sesungguhnya. Maria berpandangan sama dengan teman-teman kampusnya, bahkan Maria yang memborbardir Paidi dengan sumpah serapah. Entek golek, kurang amek. Semua kekesalan kepada kelakuan Paidi diungkapkan dalam bahasa yang lugas. (bersambung)