Paidi ternganga, apa gerangan yang terjadi. Belum paham benar apa yang dimaksudkan tulisanmu bagus. Mengapa redaksi mengundang untuk presentasi tulisan. Banyak pertanyaan di dalam diri, akankah sidang dewan redaksi menerima tulisannya. Atau mencampakkan saja di keranjang sampah. Bukankah banyak naskah masuk dari berbagai kalangan.
Paidi masih menduga-duga, akankah tulisan yang dibuatnya memenuhi syarat sebagai sebuah berita atau laporan mendalam. Bukankah asal muasal tulisan hanyalah dari pengalaman pahit berada di lokasi yang tidak tepat. Hanya pembelaan diri mahasiswa yang mendapat serangan bertubi-tubi aktivis kesiangan. Atau pembela kaum dhuafa yang mengaku berpihak kepada masyarakat terpinggirkan.
Jangan-jangan tulisan mendapat penilaian dewan redaksi sebatas propaganda semata. Mahasiswa yang tengah berkampanye untuk mendongkrak popularitas sebelum pemilihan senat mahasiswa di kampus. Paidi masih belum tenang, pikirannya menewarang. Presentasi apa gerangan yang diharapkan dari pengelola Koran Kampus sehingga merasa perlu disampaikan seorang penulis pemula yang masih mahasiswa. Kajiannya belum matang, pengalamannya masih baru dan dasar pijakannya masih sangat labil.
“Tulisanmu menarik dik,”
“Hanya masih banyak yang kurang,”
“Masih ada waktu sepekan sebelum dead line,”
“Kami tunggu perbaikannya dengan tambahan wawancara langsung, Ciblek dan orang-orang di Sunan Kuning,”
Pemimpin Redaksi Koran Kampus memberikan apresiasi. Paidi tersanjung, mongkok perasaannya. Tersanjung karena tulisan yang dibuat mendapat penghargaan, bahkan sebelum naik ke percetakan. Pengakuan awal dari sebuah tulisan yang mendapat perhatian khusus dari dewan redaksi. Tulisan mendapat perhatian dari sekian banyak naskah yang masuk ke redaksi.
Saat yang sama Paidi menjadi galau, mengapa harus kembali ke Simpang Lima menemui Ciblek. Lebih mengerikan lagi kalau harus kembali ke Sunan Kuning sendirian. Bagaimana tuduhan miring yang belum selesai dari para mahasiswa. Bukankah selama ini lawan-lawan poliktiknya menjadikan isu Ciblek dan Sunan Kuning sebagai peluru untuk melakukan serangan terhadapnya.
Kalau ke sana untuk kedua kalinya, bukankah mereka akan mendapat kesempatan baru melakukan serangan. Paidi campur aduk, antara senang dapat melakukan pembelaan terhadap tuduhan miring. Ngeri membayangkan harus kembali berhadapan dengan orang-orang yang selama ini menjadikan sebagai bahan gunjingan.
Paidi gontai berjalan merunduk dari kantor redaksi. Memikirkan apakah akan melakukan tuntutan redaksi, atau sebaliknya mengabaikan saja. Waktunya hanya sepekan untuk melakukan wawancara mendalam. Kemudian menuliskan kembali dalam sebuah hasil akhir pressclear yang sudah ditunggu. Redaksi siap memuat tulisan bersambung dengan syarat itu tadi, menambah dengan wawancara langsung
Paidi belum memiliki keberanian untuk melakukan wawancara langsung sendirian. Apalagi menghadapi perempuan. Pergaulannya selama ini tidak banyak berhubungan dengan perempuan. Kalaupun berkawan dengan perempuan sebatas pertemanan yang tidak lebih dari teman diskusi. Kalaupun ada perempuan yang menaruh hari kepadanya, Paidi segera menghindarkan diri dengan berbagai alasan. (bersambung)