Tiba-tiba saja motor yang membawa mereka berhenti di sebuah rumah. Tepatnya sebuah warung makan dan minum dengan musik keras menghentak-hentak. Paidi belum sadar benar antara kantuk dan mengucek-ucek mata.
Dalam benak hanya bertanya-tanya, kenapa tidak pulang ke kost. Ke tampat apa gerangan ini. Warung dengan pelayan perempuan-perempuan muda, menghidangkan berbagai macam minuman. Ada minuman biasa yang dijajakan di kedai, ada minuman yang belumpernah dilihatnya. Botol berjajar-jajar. Ada yang besar, ada yang kecil. Semuanya tersusun rapi di etalase.
Paidi sama sekali tidak mengenal daerah ini. Bertahun-tahun tinggal menetap di kota, baru kali ini menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Asing sekali, sama asingnya dengan orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Sepertinya mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada tegur sapa, juga tidak ada basa-basi. Di antara mereka yang ada hanyalah saling membisu. Entah mengapa.
“Minum apa bung,” tiga serangkai, tiga sekawan menawarkan minuman. Paidi masih termangu, belum menyadari benar keadaan dirinya. Belum memahami keadaan sekitarnya. Seperti orang yang datang dari tempat yang sangat jauh. Ada yang aneh dari pembicaraan tiga sekawan. Tidak biasanya mereka memanggil dengan sebutan bung. Tapi perubahan apa yang terjadi sehingga mereka memperlakukan seperti ini.
“Ayolah, kali ini saya traktir,” kata seorang diantara ketiganya. Bagi mereka tidak masalah, kalau hanya menggratiskan satu porsi makan dan minum. Jangankan hanya seorang, satu kampus saja sering mereka traktir makan. Mereka bertiga terkenal royal dalam urusan makan dan minum. Apalagi kalau lagi ada maunya. Berada di kerumunan banyak perempuan.
Mereka suka menghamburkan kekayaan orangtua mereka. Mereka membanggakan diri, meski sesungguhnya semu. Sebab mereka sama saja, baru sebatas minta jatah dari orang tua mereka. Mereka belum berkarya, belum mampu menghidupi diri mereka sendiri.
Paidi tetap dalam keanehan. Antara kantuk dan lelah, Paidi duduk bersandar di kursi panjang. Tidak terasa Paidi terlelap. Sementara tiga serangkai sudah menghilang entah ke mana. Masing-masing dengan kesibukannya sendiri-sendiri, mereka bertiga tidak mengacuhkan lagi Paidi yang terlelap.
Orang-orang di sekitarnya juga tidak memperhatikan Paidi yang tertidur, terlelap bahkan mendengkur. Semua berjalan seperti di dunianya masing-masing. Mereka seperti dengan kehidupannya sendiri. Dunia yang antah berantah bagi Paidi. Tidak seperti biasanya, ada keramahan dan ada tegur sapa. Masih antara tidur dan terjaga, Paidi masih mendengar sayup-sayup pembicaraan orang di sekitarnya.
Paidi tidak hendak mencampuri urusan orang lain, Paidi juga tidak mau masuk nimbrung pembicaraan orang di sekelilingnya. Kantuk dan lelah sudah menyiksanya sejak di perjalanan. Lelap dan tertidur kembali meski hanya bersandar di kursi panjang.
Tiga serangkai membangunkan Paidi yang tertidur, terlelap. Mereka tidak saling bertegur sapa, hanya segera hendak kembali ke kost. Mereka juga tidak banyak membicarakan Paidi yang tertidur. Masih dalam ketidaktahuan, antara tidur dan jaga Paidi kembali membonceng motor yang segera menderu meninggalkan suasana asing. Orang-orang asing dan entah dunia antah berantah.
Dini hari mereka sampai di tempat kost, jarum jam sudah menunjukkan angka tiga. Sebentar lagi subuh akan segera tiba. Paidi yang terkantuk-kantuk sepanjang perjalanan menjadi terjaga. Hilang semua kantuk dan lelah, hari menjelang pagi. Ayam jantan mulai berkokok bersahut-sahutan. Pertanda pagi segera datang, diawali dengan fajar sidik, suruk dan subuh sebelum datangnya sang matahari yang siap menyinari bumi. (bersambung)