Perebutan kekuasaan atas harta, tahta, dan wanita terjadi di era klasik. Sejak zaman purbakala. Komunitas mempertahankan wilayahnya. Sumber daya alam dan manusia.
Sedangkan di era modern, semuanya serba canggih. Harta, tahta dan wanita tetap saja menjadi bahan kajian yang tidak pernah habis. Semua bermuara kepada bagaimana memiliki harta, memperjuangkan tahta dan memiliki wanita yang setia. Kesetiaan yang sering menjadi barang langka di era globalisasi. Manusia sebatas menjadi hitungan dan kalkulasi statistika belaka.
Perebutan kekuasaan tidak lagi mengandalkan peperangan senjata. Diplomasi dagang sering berujung kepada penguasaan atas harta, bahkan tahta dan wanita. Perang konvensional sudah ditinggalkan, perang yang lebih canggih menggunakan teknologi. Namun ujungnya sama untuk mendapatkan harta, tahta dan wanita. Hanya cara dan strateginya yang berbeda-beda.
Paidi akan membawanya dalam diskusi bersama teman-teman aktivis. Bagaimana menyelesaikan permasalahan bersama sebagai bangsa. Bagaimana dengan kemandirian bangsa sebagai warga dunia. Bukankah sebagai bangsa harus berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Bagaimana bersikap terhadap negara yang memberikan utang. Bagaimana kalau utang ditarik segera.
Paidi belum menemukan solusi. Juga belum memperoleh gambaran bagaimana mencari jalan keluar persoalan bangsa. Dalam bayangannya, diskusi bisa mengundang pakar berbagai disiplin ilmu, minimal aktivis dari berbagai kampus yang memiliki latar belakang ekonomi makro. Menjadikannya bahan diskusi, syukur kalau dapat menjadi rekomendasi di berbagai forum gerakan mahasiswa.
Suasana kost lengang. Anak-anak kost pulang kampung. Sebagian keluar di akhir pekan. Seperti biasanya, Paidi sendiri bergelut dengan buku dan bahan bacaan. Paidi lebih sering berdiam diri, ketika tidak ada kegiatan di kampus. Untuk keperluan jalan-jalan sengaja tidak dilakukan, selain membutuhkan waktu dan tenaga juga biaya.
Bunyi klakson membuyarkan bacaannya. Dua motor mender-deru persis di halaman kost. Tiga serangai tengah melakukan aksi. Entah apa yang dilakukan ketiganya. Anak saudagar, anak pejabat dan anak orang kaya tersebut sering keluyuran. Tiga serangkai rajin kuliah, namun juga rajin melakukan aksi bahkan sampai larut tengah malam.
Mereka berboncengan menggunakan dua motor. Satu motor dikosongkan. Entah apa yang akan dilakukan, mereka sengaja memarkir kendaraan di halaman rumah kost. Mereka juga kost, tapi agak jauh dari kampus. Mereka menggunakan motor untuk melakukan berbagai aktivitas. Tidak ada halangan buat mereka.
Tanpa permisi mereka langsung masuk kost yang kosong, tidak seramai biasanya. Paidi tetap dengan kesibukannya. Membaca dan melakukan aktivitas rutin sambil selonjoran.
“Thos, kenthos,”
“Kita jalan yuk,”
“Pokoke beres,”
Suara dari halaman kost sudah terdengar. Suara tiga serangkai yang sering membuat ulah. Kali ini tidak menggunakan bahasa kasar, lebih lembut meskipun nada suaranya tetap saja memekakkan. Ketiganya langsung duduk di meja ruangan tengah, tanpa dipersilahkan mereka mencari-cari apa yang bisa digunakan.
“Thos, jalan yuk mumpung sepi pada pulang kampung,” salah seorang dari tiga serangkai menawarkan untuk jalan-jalan. Sembari melihat keramaian di malam hari, syukur kalau akhir pekan banyak Ciblek di Simpang Lima.
“Ciblek,”
“Apa itu, kok baru dengan kosa kata itu.”
“Payah kamu bertahun-tahun di kampus baru dengar,“
“Ciblek, itu makanan dari singkong,”
“Ciblek itu semacam geblek ya.” Katanya. (bersambung)