Semua berkecamuk menjadi satu. Pikirannya menjadi mengambang. Akankan berangkat ke ladang dan meninggalkan Madanom yang mulai tidak banyak melakukan aktivitas dan bergerak tubuh. Akankah tetap menunggu sang istri namun mengabaikan hasil tanaman yang bakal diharapkan. Dengan sangat hati-hati Madsani memberanikan diri minta izin kepada Madanom, istrinya.
“Nduk piye anakku,” kata Madsani tidak langsung mengemukakan keinginannya pergi ke lading, melainkan mlipir bertanya keadaan perut istrinya yang seperti bulat lonjong.
“Apakah bisa ditinggal untuk sebentar melihat tanaman di ladang,” tanpa menunggu jawaban istrinya, Madsani memberondong dengan berbagai pertanyaan seputar keadaan diri dan anak yang bakal dilahirkan. Khawatir kalau-kalau anaknya lahir ketika sang ayah tidak di sisinya. Kelahiran anak pertama jelas sangat dinantikan, apalagi anak pertama sekaligus cucu pertama dari keluarga besar Madsani.
“Kang,” kata Madanom terputus entah apa yang akan disampaikan kepada suaminya. Madsani menunggu sambil berdebar gerangan apa yang bakal disampaikan istrinya, terkait dengan keadaan diri dan anaknya. Mudah-mudahan saja baik semua keadaannya. Hanya doa yang tidak ada putus-putusnya, selalu diunjukkan kepada Sang Maha Pencipta yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk hidup di alam raya.
“Kang Amat, berangkat saja mencari rizki,” begitu Madanom memanggil Madsani suaminya. Tampaknya tidak ada basa-basi, juga tidak ada yang disembunyikan. Pembicaraannya tulus, dari tutur bahasanya terpancar kesungguhan satu kata antara kalimat dan isi hatinya.
“Kakang berangkat saja ke ladang, ada simbok yang bisa membantu kalau si thole segera ingin melihat padangnya alam raya ini,” kata Madanom seperti mengetahui betul makna kata yang disampaikan. Padahal umurnya belum genap 20 tahun, namun tempaan kehidupan menjadikan sikapnya lebih dewasa dibandingkan usia yang sesungguhnya.
Belum berapa lama Madsani meninggalkan pekarangan rumah, Madanom sudah merasakan ada gerakan-gerakan yang makin sering di perutnya. Gerakan yang tidak seperti biasanya. Mules dan sering disertai dengan rasa nyeri yang luar biasa, tapi sama sekali tidak hendak buang hajat.
“Mbok perutku mulai sakit, ada air yang keluar meski tidak terasa akan pipis,” katanya yang diikuti senyum perempuan paruh baya. Hanya keluar sedikit senyum, namun sempat terlihat barisan giginya yang kemerah-merahan karena sirih dan pinang bercampur kapur.
“Sebentar lagi,” hanya itu yang keluar dari mulut simbok.
“Masih ada waktu,” tambahnya.
“Siapkan uborampe,” sambungnya.(bersambung)