Tidak ada lagi perih di hati. Indrajit sudah melepas semua kesedihannya. Toh, memang tidak pantas ia meratapi sesuatu yang belum terjadi. Ia baru menyadari, selama ini, terlalu sibuk dengan perasaannya, sehingga melupakan bahwa romantisme buku yang sengaja ditinggalkan di laci mejanya, semu belaka.
Benar. Ini memang pengalaman pertama Indrajit, disentuh hatinya. Disentuh oleh suasana intim, lekat, berona kemesraan. Ia, lalu terjebak, menjadi gede rasa, serta abai pada sekitarnya. Ia lupa bahwa semua tidak nyata.
Tapi baiklah. Kini, indrajit sudah kembali menapakkan kakinya di tanah. Ia tidak lagi mengawang-awang, membayangkan dirinya dicintai dengan begitu mudah oleh seseorang yang (baru disadari) derajatnya lebih tinggi. Paling tidak karena status sekolahnya yang jauh lebih hebat, bukan sekolah numpang yang menampung anak buangan.
Ada kelegaan yang melapangkan dada. Jika ada yang berubah, hanya keanehan kecil bahwa sekarang ia tak lagi ikut karawitan. Alasannya sangat dibuat-buat, saat pamit pindah menjadi anak basket. Apalagi semua orang tahu, ia bukan tipe anak yang senang olahraga.
Sudah. Semua sudah diputuskan. Ia juga tak lagi risau oleh pandangan aneh teman-temannya. Malah, Indrajit seperti menemukan hiburan baru berada di tengah-tengah anak basket. Meski hanya ada satu siswa idola, ia merasa ikut menjadi idola, seperti semua anak basket pada akhirnya, dianggap sebagai anak-anak idola.
Semua sudah kembali harmoni, jika tidak tiba-tiba saja, ia dibuat terkesiap, melihat meja kelasnya. Meja yang selama ini ikut ia kutuki karena di sana, di laci meja itu, pernah ada sesuatu yang ditunggu.
Indrajit terpaku. Matanya dipaku guratan besar di atas meja. Kayu mahoni bersepuh cokelat itu, dipahat dengan pisau tajam, membentuk tiga huruf yang terbaca sangat jelas. Hatinya bergetar. Lalu, dengan sangat pelan, duduk dan merapa meja. (bersambung)