Wargi 5 Pedukuhan Nyadran Wonten Ing Kramatan Kauman

oleh -299 Dilihat

Selepas siang, masyarakat Jombokan, Kopok Kidul, Bujidan, Soronanggan, dan Siluwok berkumpul di kramatan Kauman. Warga dari lima pedukuhan itu, membawa pengaron berisi nasi, ingkung, dan semua kebutuhan kenduri. Juga apem atau lemper yang legendaris.

Siang ini, masyarakat yang memiliki leluhur di Pemakaman Kauman, memang sedang bertemu. Mereka bahkan datang dari tempat-tempat yang jauh seperti Jakarta, Bogor, Bandung, atau Banten. Semua menyatu dalam nyadran yang guyup, setahun sekali, menjelang Ramadhan.

Terlihat, ada Lek Gawin yang warga Cipinang Jakarta Timur tapi aslinya Bujidan. Ia sengaja datang karena memang nyadran ini, sudah menjadi tradisi setiap tahun, sejak bergenerasi-generasi lampau. “Ya kita lestarikan adat leluhur sekaligus silaturahmi dengan para saudara di tanah kelahiran,” kata perantau sekses yang biasanya akan mudik lagi pada Lebaran nanti.

Sementara itu, Mas Heri juga terlihat  rawuh. Ia sukses menjadi pengusaha konveksi di tlatah Jenar, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Setiap ruwah, ia juga selalu pulang ke Mbanaran untuk ikut ruwahan.

Mas Heri yang oleh generasinya biasa disapa Kiai Jenar, terihat lenggah bersama Densus, seorang intelektual Dusun Jombokan yang sukses mengabdi di Pemerintahan Kabupaten. Berada di sampingnya, Kang Lembet memperhatikan suasana yang sibuk.

Nama-nama lain yang populer di era 80an-90an ketika ruwayan atau nyadranan begitu penuh ruh, masih setia berada di tengah ritual adat ini. Ada Kang Lembet, Kang Marno, Kang Jalal, dan generasinya. Sedang dari generasi yang lebih senior, tampak Mbah Kemat, Lek Ngadiman, Kang Capuk.

Nyadran di hari kedua (hari pertama di kramatan Mbanaran) juga dirawuhi para pejabat Desa Tawangsari mulai dari Pak Lurah hingga perangkat desa lainnya.

Semua tata acara ini, mampu berjalan dengan baik karena diorganisir dengan rapi oleh Pak Gatot, Dukuh Sepuh yang paling populer di Desa Tawangsari oleh sebab pengabdiannya yang panjang.  Pak dukuh yang satu ini disebut Dukuh Sepuh, setelah Jombokan memiliki dukuh anyar, yang terpilih sejak Sabtu kemarin.

Dan, seperti biasanya, ruwahan atau nyadranan adalah saat paling menggembirakan bagi anak-anak. Meski tidak sehits era 80an, bocah-bocah mulai dari yang lepas Balita hingga para remaja, tetap antusias.

“Tapi mereka lebih tertip. Tidak seperti jamane kita dulu, kalau lihat apem, buat lempar-lemparan,” kata Kang Lembet tentang ruwahan di masa lampau yang sangat melegenda itu. (kib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.