Jumat Pon, Saatnya Sowan Panembahan Senapati (1)

oleh -192 Dilihat
oleh

Hari itu, saya mengingat betul, Malam Jumat Pon. Selepas petang, saya melewati cungkup watu gilang. Menghentikan langkah sejenak, saya uluk salam, merapal mantra karahayon, menyapa masa silam. Inilah tanah Menthaok, tempat Ki Ageng Pemanahan, babat alas.

Kesiur angin datang dari sisi kiri, bersama beberapa daun beringin yang jatuh. Di kiri jalan, beringin itu merimbun, membentuk tubuh raksasa di antara petang yang berpenerang lampu jalan.

Tiga kali ketukan halus pada pintu cungkup, saya meninggalkan kawasan Ndalem, yang masih sinup, angker, dan penuh aroma mistik. Langkah lurus ke utara, niat saya malam itu, malam Jumat Pon, adalah ikut ritual rutin, di depan gerbang utama Pasarean Ageng Kotagede.

Banyak ritual di makam Kotagede, namun yang paling sakral ialah malam Jumat Pon. Sebab itulah saatnya, para peziarah, penggiat kabudayan Jawi, serta mereka yang ingin memberi penghormatan kepada para pendiri Mataram datang. Semua melakukan ritual, tahlil, mengirim doa-doa, pada malam Jumat Pon, hari meninggalnya atau surud dalem Panembahan Senapati pada 1532 tahun Ehe (tahun Jawa) atau 1601 Masehi.

Masuki area keramat Kotagede, aura mistik semakin pekat. Begitu masuk pelataran parker, wangi kemenyan menyapa. Juga angin tipis yang segera menerpa, dari sisi kiri. Di sisi inilah beringit tua, menyambut.

Naik di gapura berbentuk candi bentar, hati bertambah anyes, adem, tentram oleh suasana yang memang tenang, meski semakin banyak orang lalu-lalang. Mereka yang saling bersimpangan, mengunci bibir, ketika langkah sudah melewati gerbang candi bentar kedua. Sebab, suara tahlil sudah gemrengeng, tak ubahnya bunyi mantra pengetuk sukma; membuat merinding.

Saya hanya kebagian tempat nyempil di dekat gerbang candi bentar ketiga. Itu artinya, masih lebih dari 10 langkah, sebelum gerbang utama menuju pasarean ageng. Orang-orang sudah khusuk, saat saya harus bergegas maneges, ikut larut dalam tirakatan.

Hingga menjelang tengah malam, saya masih bertahan. Tapi niat saya ikut lek-lekan sampai pagi, urung. Saya harus meninggalkan tempat keramat itu, untuk kembali lagi esok pagi, usai Jumatan; marak sowan di pusara Kanjeng Panembahan Senapati.

Tidak ada sasmita yang saya bawa, saat meninggalkan Kotagede. Hanya rasa tentram, setelah ikut melakukan tirakatan, membaca doa-doa, untuk para leluhur Mataram, yang sumare di Kotagede. Padahal biasanya, saya mendapat wisik, tentang sesuatu. Tapi membawa hati yang tentram, rasanya sudah lebih dari cukup.

Ritual Jumat Pon, memang telah lama menjadi tradisi di Pasarean Ageng Kotagede. Mereka yang ikut melakukan tahlilan, biasanya justru datang dari tempat-tempat yang jauh. Tidak hanya datang, mereka membawa sesaji, termasuk ingkung lengkap. Banyak yang datang, membawa rupa-rupa sedekah, karena percaya setelah sowan pada pusara Kanjeng Panembahan Senapati, mendapat banyak keberkahan.

Saya melangkah dalam diam, melewati Masjid Ageng Kotagede, kemudian menuruni gerbang candi bentar pertama di depan masjid, tiba-tiba ada yang menghadang. Wangi kantil yang sangat khas. Saya berhenti di anak tangga pertama. Melangkah ragu, membiarkan wangi kanthil sebagai kelumrahan, karena memang berada di tempat keramat yang tentulah, banyak menyertakan bunga kanthil sebagai sesaji.

Wangi itu, seperti mengikuti langkah. Sampai di rumah-rumah terakhir para abdi dalem, di dekat beringin tua, wangi mistik itu, belum hilang. Juga saat saya sudah bergerak meninggalkan pelataran. Tapi baiklah. Sampai di situ, saya masih belum ingin menduga-duga, apakah wangi kanthil itu sebagai perlambang, atau hanya perasaan saja yang merasa membaui bunga kanthil.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.