Pertapaan Kembang Lampir-1: Tidak Boleh Memakai Kain Warna Ungu

oleh -123 Dilihat
oleh

Panggang yang terpanggang terik, sejak jutaan tahun silam, memang menyembunyikan banyak misteri. Bukan saja, misteri batu-batu berukir yang purba, tapi juga di sinilah, ternyata banyak awal kehidupan ditorehkan.

Saya menyusuri Panggang Kabupaten Gunung Kidul, untuk menyisir kembali jejak para leluhur. Setelah singgah di Cupu Kiai Panjala, saya meneruskan langkah ke Kembang Lampir. Tidak jauh, karena memang masih di satu kecamatan; Panggang.

Tidak lebih dari 15 menit dari arah Dusun Mendak (tempat Kiai Panjala disimpan), sudah terlihat plang Pertapaan Kembang Lampir. Bukan petunjuk arah yang besar, tapi kecil dan seadanya. Plang itu, seolah berebut  tempat dengan petunjuk lain, misalnya saja salon kecantikan.

Masuk jalan sempit, saya kembali dibawa ke jantung pegunungan Seribu yang mendayu oleh pepohonan, yang sungguh ajaib, mampu menyembul di antara batu-batu tua menghitam. Mengikuti kontur tanah, jalanan menanjak, menikung, menukik, di antara pepohonan. Aspal baru, terlihat masih pekat, belum banyak terinjak roda. Sepertinya, jalan berasal anyar itu, memang khusus dibangun untuk membawa peziarah ke petilasan Bang Lampir.

Benar. Tidak lama, saya sudah sampai di sebuah tempat parkir yang kira-kira memuat 20 mobil. Lapangan itu, bagai sebuah halaman, karena berada di depan rumah kampung, tempat juru kunci tinggal. Pak Pur, namanya. Atau Surakso Puspito, nama gelarnya dari Keraton Mataram.

Pada sebuah pohon ceri yang lebat, pandangan pertama dijatuhkan. Di bawah pohon itulah, saya parkir. Setelah menginjak kawasan Bang Lampir, yang segera menyapu adalah angin lembab, yang segera menelusup hingga ke dasar kalbu. Angin itu, bertiup berat, membawa aroma mistik yang sama tuanya, dengan pegunungan purba Panggang.

Di depan agak serong kanan, ada pos jaga juru kunci, lengkap dengan buku tamu, serta kamar kecil di belakang. Terlihat, tempat itu, memang sudah dipersiapkan, untuk menyambut para peziarah. Karpet warna biru tua, selalu digelar. Pak Tris, salah satu juru kunci yang memiliki gelar Surakso Sekarsari, juga siap menerima tetamu yang ingin sowan, ke pertapaan.

Meski tidak ada tata cara khusus, Pak Tris tetap menegakkan aturan-aturan baku keraton. Saya yang saat itu memakai sarung warna ungu, diminta melepas. Untungnya, celana pendek yang saya pakai, cukup panjang hingga di bawah dengkul, sehingga tidak kehilangan kepantasan, untuk tetirah sejenak di tempat Ki Ageng Pemanahan berburu wahyu keraton.

Setelah mengisi buku tamu dan memberi wajib sekadarnya (wajib itu semacam infaq) Pak Tris langsung mengantar hingga ke gerbang yang tertutup. Tidak dikunci gerbang itu, hanya gemboknya yang dicantelkan di pengait dua pagar besi.

Pak Tris kembali ke pos, saya mengucap salam, untuk meniti tangga selebar tiga depa. Dalam hati, saya menghitung anak tangga itu. Saya yakin, hitungan saya, pasti akan berbeda dengan hitungan kawan-kawan yang lain. Selalu, seperti itu, pengalaman saya, setiap menghitung undak-undakan di tempat keramat. Entah, karena apa.

Ada 50 anak tangga, hingga anak tangga menikung ke kiri. Pada pertengahan, sebelum mentok kemudian belok kiri, terdapat bangsal. Di sana, terdapat tulisan, dilarang berdiri di sebelah barat bangsal utama. Bangsal ini, terlihat sedang direnovasi, sehingga diberi palang bambu.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.