Nama lengkapnya, R Sosro Subagyo. Sapaan akrabnya, Mbah Sosro. Bagi Wong Kebumen, terutama pemerhati seni pedalangan, asmo Mbah Sosro tidak asing. Bapak saya itu, meski orang desa, tapi alhamdulillah, wilayah pergaulannya, luas.
100 hari lalu, bapak kapundut kondur ing ayonanin Gusti. Tepatnya, 8 Desember 2019 oleh karena memang sudah sepuh.
Saya bangga sebagai anak satu-satunya. Jadi mohon maaf jika tulisan ini, terkesan membanggakan beliau. Saya, terus-terang, bangga bukan karena Mbah Sosro bapak saya, tapi darinya saya belajar banyak. Tidak hanya pedalangan, tapi juga spiritual.
Di kalangan seniman, atau tokoh-tokoh sepuh, terutama kalangan dalang Kebumen, nama Mbah Sosro juga bukan baru didengar. Dulu. Dulu sekali, di kala muda, Mbah Sosro mendalang. Malah bukan hanya di Kebumen, karena namanya tenar di Lampung dan sekitarnya.
Saya tahu. Sebagai dalang senior, pergaulan Ki Sosro Subagyo sangat luas. Ia tumbuh bersama Ki Dalang Basuki Hendro Prayitno semenjak remaja. Pertemanan tersebut terus berlanjut hingga waktu yang sangat panjang, bahkan hingga akhir hayatnya.
Dalang Sosro dengan Dalang Hendro, tidak hanya teman biasa, namun sudah seperti saudara. Ki Hendro muda dan Mbah Sosro muda banyak terlibat dalam kegiatan kesenian. Bersama seniman lain (waktu itu belum ada wadah Persatuan Pedalangan Indonesia atau Pepadi), keduanya aktif di kerukunan dan persaudaraan antar seniman.
Mbah Sosro juga berkawan dekat dengan Ketua Umum Pepadi Kebumen saat ini, Bopo KRT. Suman Sri Husodo yang biasa disapa Mbah Suman. Sangat akrab, malah sejak Mbah Suman masih di Giri Purno. Hubungan, bukan hanya sebagai sesama ahli supranatural, tapi juga saling membantu, bahu-membahu dalam banyak hal.
Pergaulan Mbah Sosro yang cukup luas, membawanya dekat dengan Mbah Dalang Parijo (almarhum). Juga dengan tokoh supranatural legendaris Mbah Glondong Kertodeso.
Wilayah pergaulan Mbah Sosro tentu saja, tidak sebatas di kalangan dalang dan penggiat supranatural. Sebab, banyak pejabat yang bersahabat, termasuk para Bupati Kebumen yang berkawan akrab dengan Mbah Sosro.
Memang. Kepeduliannya kepada budaya Jawa tidak perlu diragukan. Saya tahu, sampai-sampai rumahnya dijadikan pendopo untuk banyak kegiatan. Namanya, Pendopo Sosro Gumelar. Saya yang meyaksikan langsung, di pendopo inilah, banyak tokoh hilir-mudik, bercengkrama, berdiskusi, atau mencari solusi berbagai persoalan.
Kemampuan Mbah Sosro dalam sorosilah banyak trah sudah diakui secara luas. Juga kewaskitaannya, mengurai makna doa maujud yang diwujudkan dalam upacara adat Jawa mungkin akan sulit dicari penggantinya.
BACA http://www.kabarno.com/r-setyo-budi-bakal-calon-bupati-kebumen-2-berbakat-memimpin/
Mbah Sosro selalu rutin menggelar Ringgit Purwo setiap bulan Suro. Saat itulah, suasana tak ubahnya pertemuan para dalang. Hampir semua dalang juga pernah diundang menunjukan kepiawaiannya di halaman pendopo padepokanya, Padepokan Sosro Gumelar.
Tepat tanggal 8 Desember 2019 Mbah Sosro wafat dengan masa sakit yang tidak lama, karena terkena serangan jantung. Tentu saja selama hidupnya almarhum banyak salah dan khilaf, kiranya semua berkenan memaafkan.
Sugeng Tindak Mbah Sosro, Mugi Allah Gusti Kang Moho Asih Paring papan ingkang sae wonten Kaswargan Jati. Mugi Kawulo lan poro kadang seniman dapat dan sanggup meneruskan perjuangan Mbah Sosro Rahayu.
(Kacoret dening Ki Setyo, njangkepi ganep 100 ari, sedanipun Almarhum Mbah Sosro)