Hari itu, Jumat Pon. Jumat yang keramat di Pesarean Kasenapaten. Kasenapaten adalah sebutan akrab, yang biasa dilafalkan para abdi dalem dan orang-orang di sekitar Kagungandalem Pasarean Hastana Kitha Hageng, makam raja-raja Mataram di Kotagede.
Saya memang sengaja, bertetirah pada Jumat Pon yang sudah sejak malam hari banyak yang melakukan tahlil di depan gapura makam. Lalu, siang harinya, kembali untuk nyekar. Jadilah setiap Jumat Pon, cungkup utama makam ini, sangat banyak peziarah.
Mereka terus mengalir, silih berganti bersimpuh di depan Panembahan Senapati. Orang-orang harus mengantre untuk bisa sowan ke pusara utama itu. Tidak bisa berlama-lama, tentu saja, dalam kondisi seperti itu. Saya, juga hanya sejenak, setor muka, sambil berzikir secukupnya.
Saat saya meninggalkan, pusara Kanjeng Panembahan Senapati, masih banyak orang yang duduk menunduk, di sekitar makam itu. Juga, di depan pusara Ki Ageng Pemanahan, yang posisinya ada di atas satu undakan.
Saya memilih melipir ke sisi timur, untuk menghampiri nisan Ki Jurumertani. Saya ingin berlama-lama di situ, tapi harus sowan dulu, di pusara paling tinggi, tempat tiga nisan besar di bawah kelambu lebar; Nyai Ageng Nis, Panembahan Djajaprana, Sultan Pajang.
Kepada tiga sesepuh Mataram itu, saya menitipkan doa-doa, untuk kelapangan kubur mereka, yang selama ini ikut menjadi penjaga keagungan Mataram. Meski tidak seramai di pusara Senapati, beberapa orang sudah bersimpuh di sana. Lama, penuh kekhusukkan. Tanpa penerang, dalam cahaya yang remang, saya mendengar peziarah yang berada di ujung, di bawah kaki Nyai Ageng Nis, menangis. Entah karena apa.
Mendengar tangisan itu, dada saya tiba-tiba menjadi sesak. Seketika, saya kumpulkan konsentrasi, menetralisir suara-suara dari luar. Dalam hening, saya berusaha menembus alam tempat para leluhur Mataram itu bersemayam. Tidak mudah, memang. Sebab, suara tangisan peziarah di depan saya, masih menusuk pendengaran.
Menyerah. Saya menyerah. Saya tidak kuat mendengar isak tangis, yang terasa sangat pilu itu. Membuka mata, membuyarkan seluruh usaha menghening cipta, saya menghanturkan sembah hormat. Lantas, mundur. Turun dari altar, undakan paling tinggi, di makam itu. Semula, saya ingin agak lebih lama, tapi ya sudah, biarlah peziarah yang tersedu itu, menuntaskan pengaduannya lewat airmata.
Membungkukkan badan, saya berjalan mundur tiga injakan kaki. Berbalik, saya ingin menemui Kyai Jurumertani. Pusaranya agak terpisah oleh rongga antar nisan. Di sebelah barat, adalah undakan makam Nyai Ageng Pati dan Nyai Ageng Pemanahan. Sementara Kyai Ageng Pemanahan, yang berposisi paling ujung dari tempat saya berdiri, bisa ditemui dari sisi timur yang memang disediakan ruang untuk peziarah bersimpuh. (bersambung)