Saya mengambil posisi jongkok, bersiap untuk mundur dengan laku dodok. Tidak bisa tidak, saya harus mengangkat kedua tangan dalam katupan, membentuk salam sembah.
Saya tidak ingin meninggalkan adat kesopanan, dengan memberi hormat untuk minta diri, meninggalkan pisowanan batin dengan sang Pemanahan.
Menjauh dari pusara, sekali lagi saya menyembah, kemudian berjalan (masih dengan setengah membungkuk) menyisir dinding cungkup. Suasana sudah semakin lengang, sementara hari telah meremang petang.
Melewati pusara Kanjeng Ratu Dumilah, lurus ke selatan, melipir di antara nisan Gusti Kenjeng Ratu Sultan dan Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana II. Saya melihat Ki Bekel Hastono Sumitro, salah seorang jurukunci Kasenapaten yang sepuh, masih berdiri tidak jauh dari pintu.
Sore sudah jatuh, di Kotagede, saat Pak Mitro menjajari saya meninggalkan ruang utama pemakaman itu. Angin sore yang kering, segera menerpa. Saya melempar pandangan ke seluruh area pemakaman.
Di tempat inilah, kemudian, trah Pemanahan banyak dikebumikan, sebelum Kanjeng Sultan Agung membangun Pajimatan Imogiri. Saya ayun langkah, setelah pamit pada Pak Mitro, untuk kembali bertemu dua hari lagi. Abdi dalam sepuh itu, ingin memberi cerita yang lain, tentang Pasarean Kasenapaten.(bersambung)