Terlintas, karena agak samar, ada bangunan terbuat dari kayu, dengan atap welidan, anyaman daun kelapa yang sangat rapi, bersusun-susun indah.
Di depan bangunan itu, ada area terbuka yang lapang. Bukan dalam bentuk pendopo yang megah, tapi sebuah tempat yang sepertinya, sengaja dibuat untuk mengumpulkan banyak orang. Menghadap ke selatan rumah itu.
Tak tampak ada tanda-tanda penghuninya. Barangkali sedang tidak ada di rumah. Tapi sangat jelas, rumah itu adalah kediaman yang hidup. Setidaknya, dalam samar, semua tertata rapi. Juga tikar yang menghampar di area persamuan. Saya tahu, rumah itulah, milik Ki Ageng Mataram. Rumah yang saat ini, menjadi rumah abadi setelah Ki Pemanahan dipanggil Tuhan – tempat yang kini dijadikan Pasarean Kasenapaten Kotagede adalah bekas kediaman para pendiri Mataram.
Pengembaraan batin saya, tiba-tiba saja terhenti, bersama hilangnya wewayangan tentang rumah kediaman pembesar Mataram itu. Sekaligus, persemadian yang saya lakukan, juga jugar, batal, selesai, terbangun oleh suara mendenging yang kencang menerjang gendang telinga. Semakin saya rasakan, bertambah menyiksa denging itu. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, selain menyerah.
Benar. Saya sudah pasrahkan, seandainya akan terjadi sesuatu yang buruk, di depan pusara Kyai Hageng Pemanahan, hari itu. Dengan menahan tusukan yang sangat menyakitkan, saya biarkan suara itu meremukkan telinga. Saya luruh. Tubuh saya ambrukkan ke depan. Kepada bersandaran di kijing megah warna keemasan itu.
Dalam hati, saya memohon ampun. Kepada siapa saja, saya mintakan ampunan itu. Kepada Tuhan, pemilik jagad raya. Kepada Ki Gede Mataram, yang menguasai jagad mistik Menthaok. Kepada semua leluhur, yang barangkali tidak berkenan, dengan ulah saya. Tubuh tergetar hebat, saat denging itu meninggi. Ingin sekali menjerit tapi, rongga mulut seperti tersumbat. Lalu, berangsur, hilanglah suara yang merobek pendengaran itu.
Saya masih pada posisi semula, mengulaikan kepala di batu nisan. Kesunyian menyeruak, membawakan kesadaran pulih kembali. Saat saya membuka mata, kemudian menegakkan duduk, tidak ada siapa-siapa. Semua peziarah sudah meninggalkan pusara Ki Pemanahan. Saya sempatkan untuk melihat sekeliling. Melulu hanya batu marmer yang menyebar hingga di dekat pintu masuk, di ujung selatan sana.
Menarik nafas panjang, saya berusaha beranjak, ketika wangi ratus menghampiri hidung. Saya rengguk, wewangian itu, dengan seluruh kemampuan merengkuhnya. Tarikan nafas saya kencangkan, hingga kantong perut mengempis, memberi ruang untuk paru-paru menyedot sebanyak-banyaknya udara yang beraroma ratus. Masuk , lalu mengalir ke seluruh persendian.
Ada keyakinan bahwa wangi ratus itu, oleh-olehn yang sengaja diberikan Kyai Hageng Pemanahan, untuk saya simpan dalam aliran darah. Itu, yang membuat hati terasa lega, karena setelah semua kepedihan hari itu, diberi hadiah yang mewah; membawa pulang wangi ratus dari pusara Ki Pemanahan yang kini menyatu dalam pori-pori, membawa kantil dari pusara Kanjeng Panembahan Senapati, serta selembar daun nagasari dari Ki Jurumertani.(bersambung)