Ki Ageng Ngenis-4: Tidak Boleh Lupa pada Leluhur

oleh -146 Dilihat
oleh

Secara administrasi, Masjid Laweyan ada di Dusun Belukan, Pajang, Laweyan, Solo. Tentang nama Belukan, diambil untuk mengabadikan peristiwa yang mengiringi perjalanan masjid, sebagai pusat dakwah Islam.

Konon, pada zaman dahulu, masjid ini memiliki santri yang sangat banyak. Itu yang membuat aktivitas memasak, tak kunjung selesai sehingga masjid selalu mengepulkan asap dapur atau beluk.

Nama beluk, menurut versi yang berbeda, diambil dari tetua kampung bernama Ki Ageng Beluk. Tokoh masyarakat ini, dikenal sebagai pemimpin umat Hindu Laweyan. Puranya adalah bangunan, yang kini menjadi Masjid Laweyan. Setelah masuk Islam, Ki Ageng Beluk ikut membantu melestarikan tradisi Ki Ageng Ngenis.

Nama Masjid Laweyan, tentulah mengacu pada tempatnya berdiri, kampung Laweyan yang bukan saja tua tapi sekaligus legendaris. Tapi masih saja, ada orang-orang tertentu yang menyebutnya Masjid Pajang, sebab memang didirikan oleh Kerajaan Pajang.

Saya hanya melihat-lihat, dari bangunan paling luar, yang merupakan perluasan. Jejak sejarah yang panjang sangat tampak ada di dalam masjid. Bangunan itulah, yang paling tua. Serambi tempat saya melihata-lihat, juga sama besarnya dengan bangunan utama. Lalu, perluasan juga dilakukan untuk memberi ruang bagi jamaah putri.

Pesareandalem Kyai Ageng Henis, lengkap dengan Masjid Laweyan yang kukuh diterpa perubahan zaman, memang tak ubahnya mercusuar mistik yang terjaga. Pesona gaib yang memancar tak kunjung pudar, meski berada di tengah surutnya kewibawaan keratin-keraton masa silam.

Bagi orang Solo, makam keramat ini, selalu menjadi jujugan para peziaran. Sebab, Ki Ageng Ngenis adalah bagian penting dari tokoh-tokoh masa lalu yang menjadi penurun wiji ratu, hingga kini. Pemakaman tua ini, juga banyak didatangi oleh tokoh-tokoh besar.

Cerita sangat legendaris, yang selalu dikisahkan secara gethok-tular  ada seorang walikota yang datang ke pesarean keramat ini, sebelum sehari kemudian terpilih sebagai walikota. Memang tidak dijelaskan, siapa sang walikota. Namun cerita tutur serupa itu, sangat banyak.

“Ya banyak orang yang datang ke sini, kemudian sukses. Biasanya, setelah jadi orang, mereka kembali ke sini untuk potong sapi,” kata Mbah Nah, wanita yang saat pertama kali saya datang ke masjid Laweyan, menyambut, menunjukkan arah menuju makam.

Mbah Nah banyak bercerita, tentang orang-orang yang datang ke makam. Bukan hanya orang Solo, yang jauh-jauh juga datang. Saya yang duduk di undakan masjid, memandang lurus ke timur, di sungai kecil yang berhias pohon bambu.

Banyak yang dituturkan Mbah Nah  bersama siang yang meredup. Saat saya beranjak, Mbah Nah juga mengingatkan agar jangan lupa, datang lagi ke Laweyan. “Tidak boleh lupa sama leluhur,” katanya yang saya jawab dengan anggukkan, lalu, berlalu.

Menuruni tangga yang agak curam (masjid dan makam Laweyan berada di ketinggian) menuju jalan raya yang menjorok ke bawah, Mbah Nah mengejar. Ia kembali menjajari saya menuju mobil, hanya untuk mengulang kalimatnya kembali; jangan lupa leluhur.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.