Secara spontan, saya menangkupkan kedua telapak tangan, memberi hormat pada Pacak Suci Krapyak, sebidang tanah miring yang ditumbuhi pohon salak dan pohon wegik dengan dipagari kayu berselimut kain mori.
Di tempat itulah, di bawah pohon Wegik, Ki Ageng Pemanahan menjalani pertapaan panjang, sebelum menerima wahyu Gagak Emprit. Di depan Pacak Suci Krapyak ini, di tempat saya duduk bersila, bekas-bekas persemadian tampak amat jelas. Tumpukan bekas bakaran kemenyan, mulai membentuk bukit kecil. Leleran kemeyan itu, seolah bersaing dengan abu-abu bakaran hio yang tak kalah membuat gunungan mungil.
Selain bekas bakaran menyan dan hio, ada tiga botol minyak airmata duyung. Tentu saja hanya botolnya saja, teronggok di dalam ember warna hitam. Di ember itu, ada bungkus hio harum, satu arit (alat menyabit rumput khas petani). Barang-barang itu, bertumpukan dalam satu ember yang terlihat penuh.
Di depan ember, di undakan paling ujung di dekat Pacak Suci, ada tempat lilin. Posisisnya di sisi kanan dan kiri. Di tengah-tengah itu, selembar daun pisang sebagai alas kembang setaman.
Lalu lihatlah, di bawah meja kecil yang kosong. Ada takir (tempat menaruh kembang terbuat dari daun pisang). Juga satu tungku yang khusus untuk membakar kemenyan. Tungku ini terlihat masih agak bersih, belum banyak dipakai membakar kemenyan, karena warna merah tanahnya belum berselimut angus.
Lebih dari satu jam, saya duduk-duduk (dengan menjaga agar tetap bersila, agar tidak dianggap nranyak, tidak sopan) di depan Pacak Suci Krapyak. Bukan lagi bersemadi, tapi sekadar menikmati angin yang berhembus, membiarkan angan dibuai suasana.
Memang, selain bisik angin, yang terdengar adalah gesekan daun-daun, yang membentuk nada-nada magis. Saya ingin mendengar suara burung, tapi sama sekali tidak terdengar. Melulu hanya orkes dedaunan yang ditiup angin kecil.(bersambung)