Karena Bapak-ibu selalu Saboyo Mukti Saboyo Pati

oleh -271 Dilihat
oleh
Foto kenangan bapak dan ibu di tahun 1963.

Semula, ini tulisan personal. Tulisan di buku harian yang sinengker. Tidak untuk dibaca khalayak. Tapi bolehlah dibaca, karena saya ingin berbagi cerita tentang cinta yang sejatinya. Tentang konsep saboyo mukti saboyo pati, serta tentang pati kang patitis.

Dino iki, Jemuah Kliwon, 3 Mulud 1953 Tahun Jawi. Atau Jumat, 1 November 2019 M. Inilah Jumat  paling dramatik dalam hidup saya, karena jam 10 pagi tadi, sudah harus ikut mendorong ranjang rumah sakit. Ada bapak terbaring tak bergerak di atasnya.

Bapak harus dipindahkan dari ruang HCU ke ICU Rumah Sakit PKO Surakarta. Drama pilu itu, terasa mengiris sisi hati oleh sebab ingatan segera terlempar pada peristiwa serupa, tiga bulan lalu. Saat itu, di Jumat yang sama, saya mendorong ranjang RSUD  Wates yang membawa ibu ke ruang ICU. Sebulan setelah peristiwa itu, ibu kondur, dipanggil Yang Maha Memiliki.

Belum terhapus benar airmata akibat kepergian ibu yang begitu cepat, tapi kini, urut-urutan peristiwa serupa urut-urutan ibu dipanggil Tuhan, harus kembali saya lewati. Waktu itu, Selasa Legi, 30 Juli 2019, ibu jatuh, saya gotong-gotong dari dapur ke pembaringan. Esok harinya saya bawa ke rumah sakit. Menginap dua malam, hari berikutnya, pada Jumat pagi, saya ikut mendorong ranjang rumah sakit Wates menuju ICU. Ada ibu terbaring tak bergerak di atasnya.

Entahlah. Barangkali memang saya dan lima saudara saya, sedang ditakar kesabarannya, diuji nyali hidupnya, ditatar tanpa bisa ditawar kemampuannya mengelola kesedihan. Coba saja dibayangkan kesedihan kami ini:

Bapak ditunggu mbakyu, kakang, dan adik

Bapak baru satu malam di Solo,  diajak mbakyu saya karena di rumah tidak ada yang menjaga. Lalu pagi-pagi, sudah tidak bisa dibangunkan sampai akhirnya dibawa ke UGD. Padahal, empat hari sebelumnya, bapak masih menjadi pusat reriungan kami sambil bercerita banyak, terutama tentang ibu yang baru dibuatkan tahlil 40 harinya.

Tahlil 40 hari digelar, Sabtu, 26 Oktober. Kami berenam ngumpul sekaligus memberi dukungan batin untuk bapak yang memang sangat kehilangan ibu, pasangannya yang sepanjang 60 tahun, melewati hari-hari bersama.

Saya baru pulang pada Senin sore, jadi ada tiga hari menikmati saat-saat penting bersama bapak, sebelum hari ini saya menemui bapak sudah tidak bisa diajak bicara.

Saya ingat, saat pamitan, masih ada tawa yang mengesankan.   “Meniko keris kulo betho sedhoyo njih, ten mriki pun mboten onten ingkang ngrumati,” kata saya sambil menunjukan empat keris yang sudah saya bungkus kain hitam. Bapak mengangguk. Lalu, berkata (lagi-lagi) kata-kata yang dikaitkan dengan ibu.

“Wingi nang ibumu disimpen nang lemari njero, ora entuk nang lemari ngarep.” Saya tahu, saat terakhir pulang dan ibu masih sehat, memang meminta keris-keris itu disimpan di lemari di kamar saya, dipindahkan dari lemari pajangan di ruang keluarga.

Bapak masih tertawa sumringah saat saya pamiti.

“Kuwi ono keris seko mbah nggunung,” tambah bapak tentang salah satu keris tua yang diwariskan dari mbah nggunung tanpa menjelaskan siapa mbah nggunung itu. Tapi memang, keris lurus dengan warangka gayaman yang bersahaja itu, sangat tua.

Sampai hari ini, itulah percakapan terakhir saya dengan bapak. Sebab setelah pamitan, saya pulang ke Jakarta  menjalani aktivitas rutin. Tapi harus kembali lagi ke kampung, tiga hari kemudian karena bapak masuk rumah sakit.

***

Selama 40 hari sejak ibu meninggalkan kami, saya membuat beberapa tulisan. Tulisan yang semua tidak untuk dibaca khalayak. Karena tulisan-tulisan itu, merupakan ekspresi kesedihan yang personal, serta cerita-cerita yang hanya saya dan lima saudara saya yang boleh membaca. Tapi ada beberapa tulisan yang ingin saya share, tentu dengan diedit beberapa yang sangat-sangat personal.

Pada 23 September 2019 misalnya. Itu berarti, lima hari setelah ibu wafat. Saya menuliskan kalimat panjang di grup anak-putu-buyutnya bapak dan ibu. Begini yang saya tulis saat itu.

Setelah Ibu kondur Ing ngayonaning Gusti, kita tinggal punya satu orangtua yaitu bapak. Kita mesti ekstra menjaga beliau mengingat kondisi fisiknya yang sudah ringkih ditambah kondisi batinnya yang nglangut setelah tidak ditemani ibu.

Kondisi bapak yang seperti itu, membuatnya rawan sakit. Apalagi kalau kesedihannya tidak segera bisa dihapus. Menghibur beliau, menemani selalu, ngladeni setiap kebutuhan, menjadi salah satu jalan membuat bapak bisa pulih kesedihan batinnya.

Bapak foto bersama warga di sekitar rumah tabon dalam sebuah acara.

Lalu pada 5 Oktober 2019. Saya menulis agak panjang untuk menggugah perasaan saudara-saudara saya yang masih berduka. Saat itu, kami sedang diskusi apa yang harus dilakukan pada bapak. Apakah tetap tinggal di rumah tabon seperti yang diinginkan, atau tinggal di salah satu anaknya. Saat itu saya menulis begini.

Betul. Andai kita pandai membaca sasmita, barangkali bapak sedang memberi pratondo, tidak lama lagi momong anak-cucu-buyut. Selain usia yang sudah melewati angka 90  tahun, bapak-ibu itu pasangan yang saboyo mukti saboyo pati.

Kita barangkali pernah dengar kalimat ibu. Dulu waktu kita masih di rumah, ibu sangat sering bercerita (entah serius atau sekadar cerita), bahwa bapak-ibu berjanji akan segera menyusul jika salah satu dipanggil Gusti.

Jika ibu dulu yang kondur, tidak akan lama ibu mengajak bapak sowan ayonaning Pangeran. Juga sebaliknya, jika bapak dulu yang ‘pulang’ ke keabadian, ibu minta pada Tuhan untuk memanggilnya. Itu sebuah janji yang hanya bapak-ibu yang tahu awal-mulanya.

Kita tidak tahu, hidup-mati adalah rahasia Tuhan. Tapi memang harus bersiap menghadapi kenyataan tidak memiliki orangtua lagi. Syukurlah, sejak ibu jatuh kemudian sakit dan sowan Gusti, hanya dalam waktu tidak lama, jadi tidak tersiksa jiwa-raganya.

Dalam soal itu, kita anak-anaknya (sekali lagi harus berterimakasih) sekaligus memetik teladan bahwa terlepas dari kondisi sakit ibu yang (mungin) berat, beliau tidak mau menyusahkan anak-putu-buyut. Itu yang membuat ibu ‘merelakan’ hidupnya agar anak-putu-buyut tidak repot mengurusinya.

Kebaikan ibu (di luar semua kebaikan membesarkan kita semua) di hari-hari terakhirnya, masih memberi kesempatan kita untuk menungguinya, menemani, leladi, dan bersentuhan secara dekat seperti dulu waktu kita masih kecil-kecil.

Beruntunglah yang mendapat giliran bersama ibu ketika ibu masih bisa diajak bicara dan cerita sehingga mungkin akan mendapat cerita terakhir beliau.

Saya yang ada di samping ibu tiga hari sebelum beliau sowan Gusti,  merasa getun, menyesal karena tidak bisa leladi secara lebih lembut. Andai tahu tiga hari itu adalah tiga hari terakhir bersama ibu, saya akan menemani setiap detik dengan pengabdian yang lebih lembut tanpa keluh-kesah, tanpa kesal, tanpa nggersulo.

Maka ini adalah pelajaran. Kepada bapak, orangtua kita yang tinggal satu itu, mari leladi dengan sedalam cinta kita sebagai putro-putri yang telah digulowentah hingga saat ini.

Jika benar janji ibu untuk mengajak bapak kondur ayonaning Gusti dalam waktu tidak lama, itu artinya kita harus mempersiapkan diri tidak memiliki orangtua. Jadi, mari manfaatkan kesempatan (yang barangkali merupakan kesempatan terakhir) untuk ngabekti.

Bisa mengabdi, ngabekti lan leladi pada bapak, percayalah akan menjadi kesempatan paling indah sepanjang hidup. Kalau perlu, buat foto kenangan yang paling bagus, paling ikonik, sebagai tinggalan terakhir bersama beliau.

Yang terakhir ingin saya katanya, setelah selalu mendoakan ibu yang sudah kondur dan mendoakan bapak untuk kuat, mari memaknai keinginan bapak untuk tetap tinggal di rumah tabon. Keinginan itu, saya kira perlu dimaknai lebih dalam bahwa beliau sesungguhnya sedang menanti hari-hari dijemput ibu untuk bersama-sama sowan ke haribaan Gusti kang Murbeng dumani.

***

Sebelum menuliskan ini, tulisan terakhir, saya buat dalam perjalanan pulang ke Jakarta setelah tiga hari bersama bapak. Berarti hari itu adalah Senin sore, 28 Oktober 2019. Saya menulis kalimat berikut ini.

Bapak tertawa sumringah saat saya pamit. Tapi dari suaranya, ada duka yang disembunyikan. Rupanya sumringah yang terlihat saat dipamiti, sekadar pengibur bagi anak-anaknya. Sebab, yang sesungguhnya tersembunyi di balik dinding hatinya adalah duka yang belum terobati.

Duka itu sangat terasa pada malam tahlil. Matanya berkaca. Membeng sungkowo saat duduk di bawah jendela panjang di teras rumah, menunggu tetamu.

Saya melihat dari latar, tatapan bapak kosong. Ngalamun di tengah keramaian tamu tahlil. Barangkali pak Djo juga melihat itu, sehingga meminta anak lanang duduk di samping bapak.

Begitulah bapak dan ibu saya. Orangtua kami yang saling mengisi. Bapak yang Jogja asli (jika mau diurutkan malah masih trah andono topo rembesing madu), sementara ibu berasal dari Begelen adalah pasangan saling menenggang. Yang satu lembut, satu lagi pemberani. Tapi saat menyatu, justru saling membimbing.

Tulisan ini, saya buat, saat bapak dalam kondisi tidak baik. Dokter pesimis. Kami pasrah. Sambil menulis, sesekali saya dipanggil suster untuk tandatangan berkas karena bapak harus dipasang alat bantu pernafasan. Saya tidak tahu setelah itu, setelah besok pagi, setelah nanti.

Foto kenangan saat bapak menjenguk ibu di rumah sakit.

Tapi, andai benar konsep saboyo mukti  saboyo pati berjalan, saya rasa bapak telah memilih pati kang patitis. Sebuah kepergian terindah, jika memang Tuhan berkehendak memanggil. Sebab cintanya kepada ibu, dibuktikan dengan menyusulnya sesegera ia bisa.

Selama ini, tubuhnya yang ringkih di usia 90 tahun, hanya disediakan dan dikuat-kuatkan untuk merawat ibu yang meski usianya lebih muda, kondisi kesehatannya jauh lebih buruk. 11 anak yang lahirkan ibu (enam anak hidup menemaninya menjalani hari-hari di dunia, lima anak memilih menanti ibu di keabadian jauh sebelum ibu kondur), barangkali menjadi alasan bagi bapak untuk kuat menjaga ibu hingga hari terakhir. Dan, setelah ibu tiada, bapak tidak lagi menguat-nguatkan tubuhnya.

Bagi kami, saya dan lima saudara saya, yang bisa dilakukan saat ini adalah doa terbaik: jika Bapak masih diberikan usia panjang, semoga segera sembuh sehingga masih bisa dibahagiakan oleh anak-putu-buyut, tapi sebaliknya bila memang ingin menepati janji saboyo pati dengan ibu, kami memberikan segenap keikhlasan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.