Cupu Kiai Panjala-7: Bermula dari Bagus Sayek

oleh -124 Dilihat
oleh

Tersebutlah orang sakti bernama Kiai Wonowongso. Dialah eksodus dari Keraton Majapahit yang tergusur oleh dominasi Demak, yang saat itu terus menggerus kejayaan keraton persembahan Raden Wijaya itu.

Sang kiai yang menganut agama lama, memilih hijrah, bergerak ke barat, hingga sampai di Gunung Kidul – konon Gunung Kidul memang menjadi tujuan para pelarian dari Majapahit. Dan, di pesisir selatan Jawa itulah, Kiai Wonowongso bertemu dengan Kanjeng Sunan Kalijogo yang sedang ada di Kembang Lampir.

Kala itu, sudah agak lama Sunan Kali,  berkeliling di sekitaran Gunung Kidul, termasuk di pertapaan Bang Lampir.  Dari sana, muncul kisah perburuan wahyu keraton Gagak Emprit oleh Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Mertani, Ki Panjawi, dan Ki Wonolopo. Di situlah, Kiai  Wonowongso datang.

Tidak sekadar datang, pelan, pelarian Majapahit ini menjadi murid Kanjeng Sunan dan masuk Islam. Mereka, bersama-sama membangun masjid. Bangunan sederhana beratap ijuk itu, akhirnya menjadi nama buat masjid yang hingga kini dikenal sebagai Masjid Tajuk. Tapi kini, orang-orang di Girisekar, Panggang, Gunung Kidul lebih mengenalnya dengan sebutan Masjid Sunan Kalijaga.

Kiai Wongso yang kemudian mendapat tugas merawat masjid. Di Tajuk itulah, sang kiai menjadi penyebar Islam. Di sana pula, ia menurunkan anak-anaknya. Termasuk Bagus Sayek, salah seorang anak yang sering diajak Sunan Kali blusukan, tapa ngrame. Nama Sayek juga diambil dari kebiasaan bocah itu, yang sejak kecil sering diajak nglayek sehingga disebut Sayek.

Dalam sebuah saat, Bagus Sayek meninggalkan rumah (menurut versi sederhana yang dituturkan turun-temurun di tengah masyarakat) Sayek pergi karena dimarahi sang ibu setelah makan nasi tanpa izin. Meski masih bocah, keberaniannya memang tebal, apalagi ia seorang yang banyak diasuh sunan sekelas Kalijaga.

Ke selatan, langkah Sayek terus diayun. Ia tidak sendirian, meski merasa seorang diri. Sebab, Kanjeng Sunan Kali, secara diam-diam mengikuti tapak kaki murid kecilnya itu. Terus, langkah bocah Sayek ke selatan, mendekati bibir pantai, tanpa ia pernah tahu. Berhari-hari, sepanjang 40 hari 40 malam. Tanpa lelah, tanpa makan, tanpa minum; sebuah lelaku yang tak ia sadari.

Perjalanan tanpa tujuan yang ternyata merupakan persemadian tanpa sadar, membawa Bagus Sayek ke beranda Istana Laut Kidul di pesisir pantai. Itu, yang membuatnya, diterima sebagai anak angkat Kanjeng Ratu, karena kepiluan hatinya, selain kekuatannya bertirakat sambil mengayun langkah.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.