Belajar Lugu dari Kadilangu-3: Kadilangu yang Melipatkan Keberkahan.

oleh -361 Dilihat
oleh

Terik sedang mencubit, saat saya sampai di pelataran Masjid Sunan Kalijaga. Pesona mistik, menguar. Ketuaan yang segera terlihat, menyembunyikan jejak spiritual yang kental. Tidak bisa lain.

Saya menyentuh tembok yang mengelupas, menyentuh bata tua yang tampak kukuh. Saya melangkahkan kaki kanan. Ketakjuban kembali mengaliri hati, begitu berada di beranda masjid. Inilah, tempat paling menyentuh; kekuatan gaibnya tak memberi ngeri, melainkan menyuguhi tetamu rasa ayem.

Masjid keramat ini, seolah menjadi mercusuar spiritual, di tengah kepungan rumah-rumah penduduk. Sebelum benar-benar sampai di pelataran masjid, peziarah sudah disambut keriuahan. Begitu setiap hari, karena komplek tinggalan Kanjeng Sunan Kalijaga ini, tak mengenal hari libur.

Pedagang, menjaja rupa-rupa benda. Mulai dari kembang, botolan air mawar, hingga tasbih. Gambar-gambar Walisongo juga menjadi komoditi. Sementara suara mbok-mbok bakul yang merayu pembeli, beradu kuat dengan anak-anak muda, yang menjual jasa parkir. Semua seolah ikut menemani nama besar Sunan Kalijaga yang lestari.

Pada pagi hari, kecuali akhir pekan, keriuah semakin nyata. Bukan hanya mbok bakul dan mas parkir, suara-suara melengking datang dari anak-anak TPA dan madrasah dinniya, yang dibangun di sisi timur, tidak jauh dari komplek tua ini.

Tapi biarlah. Anggap saja, semua yang menyambut para peziarah itu, bagian dari penjaga kemasyuran Kanjeng Sunan. Saya melakukan sholat dua rakaat, menghormati masjid. Sebab, saat menapaki masjid bersejarah ini, sudah lepas ashar.

Ada tenang yang menggerayang dada. Saya berjanji menunggu waktu sholat magrib di sini. Banyak yang bersaksi, sholat di masjid Sunan Kalijaga, bukan hanya mudah khusuk. Bagi orang-orang yang diberi keberkahan, akan melihat pancaran cahaya-cahaya dari Kadilangu yang melipatkan keberkahan.

Saya menyisir selasar, jalan beratap yang indah menuju makam. Suasana memang, lebih merupakan tempat wisata, meski kijing-kijing tua, menyambut. Itulah pusara putra, kerabat, dan pengikut Kanjeng Sunan. Dilabur warna hitam, nisan itu, ditata rapi di atas permadani konblock. Pepohonan sedang ditanam, tapi sudah memberi efek yang nyaman. Setidaknya, nyaman untuk melihat-lihat sebagai pelancong.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.