Dinten meniko, Setu Pahing, 21 Ruwah 1952 J. Utawi, Sabtu, 27 April 2019 M. Wargi jombokan soho Keluarga ageng ingkang hanggadahi leluhur ing Makam Mbanaran, ngawontenaken nyadran.
Inilah tradisi tua turun-temurun yang masih lestari. Ritual kirim doa kepada leluhur, yang dirangkai dalam upacara adapt yang diikuti semua warga.
Rangkaian nyadran sudah dimulai sejak tadi malam, dengan tahlil dan wungon semalam suntuk. Tokoh-tokoh masyarakat hadir, lengkap hingga yang sepuh-sepuh. Kelapa Desa Tawangsari, Sigit Susetyo, juga rawuh bersama beberapa perangkat desa.
“Tradisi nyadran utawi ruwahan meniko, kathah makananipun, selain ingkang utami nyambung tali Silaturahmi,” kata Pak Lurah dalam sambutannya yang gapyak penuh kalimat menarik.
Nyadranan memang penuh makna. Sepanjang masa, inilah saat paling menyenangkan bagi warga Jombokan. Juga anak-anak yang meskipun sudah berganti-ganti generasi, tetap sama dalam menyambut nyadranan.
Malah istilah Cureng (kependekan dari kacu dijereng, sapu tangan besar yang direntangkan) masih tetap popular. Istilah itu diciptakan oleh anak-anak muda di era 80an. Saking kondangnya, istilah itu sering menjadi pengganti sebutan nyadran.
“Pokoke kalau ikut nyadran ya harus bawa kacu besar atau kalau perlu bawa taplak meja untuk membawa pulang berkat kendiri nyadran,” kata Lek Mano, warga Jombokan yang memiliki banyak cerita tentang Cureng alias kacu dijereng.
Tradisi nyadran di Pedukuhan Jombokan, adalah rangkaian pertama dari ruwahan di sejumlah pedukuhan di Desa Tawangsari. Setelah hari ini, besok, nyadran digelar di pelataran Malam Kauman, lalu esok harinya di Makam Bujidan. (kib)