Api Cinta (88): Madsani dan Sang Istri Beradu Pandang

oleh -1269 Dilihat
oleh

Madanom membuka percakapan memecahkan keheningan di malam yang mulai larut. Sementara Madanom menunggu reaksi apa yang bakal diutarakan anaknya, dengan harap-harap cemas keduanya menunggu dan menunggu.

“Paidi anakku,”suasana menjadi hening, sepi dan terasa nglangut tidak ada jawaban juga tidak ada bisik-bisik yang ada hanya suasana mati.

Malam terasa mencekam, apalagi hanya mata yang berkaca-kaca saja yang memberi jawaban. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari Paidi, namun jawaban terasa menjadi jelas. Tidak terucap dalam kalimat verbal, namun menjadi terang benderang, apa dan bagaimana permasalahan yang ada dalam jiwa dan sanubarinya. Permasalahan yang dihadapinya terasa begitu memberatkan diri dan hatinya yang masih terluka.

Meski sudah beberapa bulan berlalu, namun baginya baru terasa kemarin saja. Hari-hari berjalan terasa sangat lamban, baginya seperti tidak bergerak. Malam terasa mencekan, menakutkan dengan datangnya gelap. Ditingkahi dengan binatang malam, suara jengkerik, suara deru malam yang memburu.  Suara katak saling bersahutan seperti tengah mempermainkan hatinya yang tengah dirundung permasalahan. Belalang yang menggesek-gesekkan sayapnya terasa semakin menyayat hati dan sanubarinya yang terluka dan makin terluka.

Madsani dan Madanom berpandangan, keduanya beradu pandangan. Juga tidak berkata-kata, hanya sorot mata keduanya seperti memberitakan sesuatu yang entah apa. Namun keduanya seperti sepakat untuk tidak meneruskan pembicaraan malam hari ini. Harus ditunda, tidak diteruskan memaksakan kehendak dengan memusyawarahkan permasalahan yang sudah jelas, hanya jalan keluarnya saja yang masih harus didiskusikan bersama di antara mereka bertiga.

Mereka bertiga lama berdiam diri, duduk bersila di ruang tengah rumahnya yang tidak terlalu luas. Mereka seperti sepakat untuk tidak meninggalkan arena perbincangan, tidak Paidi tidak juga kedua bapak biyungnya. Mereka tetap berada di ruang tengah, duduk di lantai meski hanya beralasakan tikar yang tidak utuh lagi. Mereka seperti sepakat untuk terus menjaga hati dan perasaan masing-masing di antara ketiganya.

Permasalahan yang sebelumnya ingin didiskusikan, ternyata tidak terjadi. Madanom yang mendesak Madsani suaminya juga tidak dapat berbuat banyak. Permasalahan kembali mengambang, namun ketiganya seperti puas mendapatkan hasil maksimal, meski sesungguhnya meraka belum memperbincangkan sama sekali, namun terasa seperti sudah dapat menyelesaikan pekerjaan yang sangat besar dan sangat berat.

Mereka seperti berhasil memindahkan batu besar yang menghalangi pintu depan rumah mereka. Ketiganya seperti tengah menyelesaikan tugas sangat berat yang mengharuskan mereka untuk menyelesaikan. Ketiganya seperti merasakan kelegaan yang amat sangat, terasa sangat ringan terutama bagi Paidi yang menjalani.

Mereka bertiga tidur pulas di ruangan tengah rumah mereka yang tidak luas, namun hati mereka terasa lapang. Jelas menerawang masa depan yang jelas dipandangnya. Mereka seperti menghadapi kehidupan baru yang sama sekali baru dijalaninya. Ketiganya memejamkan mata dan sambil bibirnya tersunging senyuman.

Ketiganya seperti sepakat tidak hendak beranjak dari tempat pembaringan. Meski hanya beralaskan tikar tua, namun terasa nyaman saja bagi mereka. Seperti tidak ada lagi beban yang menggelayuti kehidupan mereka bertiga. Mereka ternyata terlelap dalam mimpi, masing-masing menjalani kehidupannya sendiri-sendiri di alam bawah sadarnya.

Ketika malam menjadi mati, mereka masih tergolek bertiga di satu tempat yang biasanya mereka jadikan serba guna. Ruang tengah yang sekaligus sebagai tempat makan, bahkan ketika menghadap ke Mahabesaran dan kemahakuasaanNya.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.