Mereka bertiga terkekeh-kekeh. Ciblek itu, mereka bertiga bersama-sama mencoba menerangkan apa makna sesungguhnya di balik ungkapan tersebut. Simpang Lima di malam hari selalu ramai dengan masyarakat kota yang melepas lelah.
Setelah sepekan bekerja, tiba saatnya akhir pekan mereka menghabiskan waktu di taman kota. Simpang Lima dengan lapangan luas di tengahnya menjadi tempat paling favorit. Dari sanalah istilah Ciblek berasal.
Simpang Lima di pusat kota dengan lima jalan raya yang menghubungkan daerah sekitarnya. Malam akhir pekan ketika aktivitas masyarakat berkurang menjelang malam, justru banyak hiburan. Selain pusat perbelanjaan, di sekitar Simpang Lima terdapat bioskop, rumah makan cepat saji dan berbagai sarana lainnya. Di sebelah barat berdiri kokoh Masjid Jami Baiturrahman. Keberadaannya menjadi penjaga ruhani dari masyarakat kota.
Di antara banyak sarana di Simpang Lima, ada salah satunya Ciblek. Ciblek, anak-anak kecil umumnya remaja perempuan menjajakan makanan ringan, berkeliling dari satu kerumunan satu ke kerumunan lainnya. Mereka menjajakan kopi, rokok dan makanan kecil sebagai teman bercengkerama.
Ciblek, anak-anak perempuan remaja tanggung itu berjualan keliling sampai tengah malam bahkan hingga dini hari. Sering terlontar kaliman, cah cilik kok betah melek. Dikenallah istilah Ciblek, cah cilik betah melek. Keberadaan mereka memberi warna tersendiri di malam-malam akhir pekan di Simpang Lima.
Awalnya tidak dalam konotasi yang lain. Dalam perkembangan selanjutnya, Ciblek mendapat stigma buruk karena memperdagangkan semuanya. Bukan sebatas barang dagangan yang mereka jajakan, banyak orang mengambil kesempatan menjadi Ciblek, meski usianya tidak lagi remaja.
“Kita ke Simpang Lima,”
“Kongkow-kongkow saja,”
“Tidak ada agenda yang lain,”
Mereka meyakinkan. Paidi malas, tidak memberikan reaksi setuju atau tidak. Tiga serangkai sudah menggandeng tangan Paidi. Membawa ke motor dan mendudukkan di jok belakang. Paidi tidak berkelit, berkata-kata saja tidak sempat. Mereka membawanya ke Simpang Lima. Menjelang tengah malam. Suasana dingin menusuk, apalagi motor yang dibawanya sengaja dengan kecepatan kilat.
Tidak lama mereka berempat sudah sampai Simpang Lima. Tidak banyak aktivitas, juga tidak banyak obrolan di antara mereka. Berempat hanya duduk-duduk, ditemani kopi hangat dan sedikit makanan ringan. Hanya kadang-kadang mereka mentertawakan kejadian-kejadian di sekelilingnya. Ada anak remaja yang mengendari motor butut, menderu-deru dengan knalpot modifikasi. Suaranya mengundang perhatian setiap orang di sekitarnya.
Sambil melihat bintang di langit yang biru terang. Purnama sudah berlalu namun masih menyisakan temaram suasana. Kopi secangkir dan jadah tempe menghangatkan suasana. Tiga serangkai masih asyik masyuk dengan obrolan. Sesekali ditingkahi dengan tertawa kecil, nyeringis bahkan cengengesan. Tidak ada beban bagi ketiganya, dalam pandangan mereka hidup adalah lahan untuk bersenang-senang.
Kampus hanya bagian dari kehidupan semata. Mereka harus melalui, memang harus melaluinya. Bukan keharusan untuk benar-benar belajar. Tanpa belajar di kampus, kehidupan mereka sudah tercukupi dari orang tua mereka yang saudagar, pejabat dan orang berada. Mereka tidak mempermasalahkan dengan segala persoalan hidup rakyat kebanyakan.
Ciblek bagi mereka sebatas hiasan malam. Tidak lebih dari Satpam dan Hansip yang setiap malam berjaga-jaga. Mereka juga keluar malam dan tidur di siang hari. Sama halnya dengan pedagang lainnya, mereka menjajakan barang yang mereka jual. Kopi dan rokok sebatas barang yang dijajakan. Masyarakat yang membutuhkan akan mencari dan membeli.(bersambung)