ACI-3: Senyum Terakhir yang Mencungkil Hati

oleh -136 Dilihat
oleh

Siang itu, sudah menjelang jam dua saat semua siswa SMP 5, berebut pintu kelas. Riuh yang khas, menghias sejak bel tanda masuk menusuk telinga, yang bagi sebagian siswa menandai dimulainya jam-jam penuh intimidasi. Apalagi hari itu,  pelajaran dibuka dengan senyum pak Prapto. Membayangkan senyumnya saja, yakinlah semua siswa sudah tertekan jiwanya, kecuali mereka yang pintar-pintar.

Lengkap dengan kumisnya yang provokatif, Pak Prapto, atau nama panjangnya Prapto Sajiwo adalah contoh nyata guru yang membuat sekolah kehilangan kenyamanan. Bagi murid yang kesulitan mengikuti pelajarannya, inilah perpaduan antara bengis dan sinis. Senyumnya memang tidak pernah lepas, tapi bukan manis yang sampai di hati siswa melainkan senyuman mengancam. Pak Prapto adalah tipe orang Jawa yang bisa membunuh, bahkan hanya dengan senyumannya.

Belum lagi pelajaran matematika yang ia bawakan, nyaris selalu membuat hawa siang yang panas, semakin ganas memanggang.   Maka sudah sejak langkah pertama, Pak Prapto membawa segala yang membuat isi kepala mengebul, berasap oleh didih yang datang tiba-tiba. Ayunan tangannya, gaya berbicaranya yang dibuat seramah mungkin, bahkan hingga  cara ia memegang kapur, adalah rangkaian agitasi yang tak terhindari.

Dan, di tengah senyap yang menyesakkan dada, muncul dua kepala di balik jendela. Memandangi lurus ke deretan bangku paling pinggir, dua kepala itu, seperti ingin memastikan sesuatu.

Tidak lama, satu kepala menghilang. Tapi satu kepala lagi bertahan beberapa saat, sekadar mengirimkan tarikan kecil di bibirnya. Mungkin sebuah senyuman, tapi bisa jadi juga seringai kekesalan, jika bukan sinisme. Setelah itu, pergi untuk tak kembali lagi. Hilang, membawa setengah hati milik Budi Kurniawan Saputra, lelaki lugu dan peragu itu. (bersambung)